Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Peneliti: Divestasi Freeport Lewat IPO Untungkan Orang Kaya dan Politisi

Kompas.com - 27/02/2019, 19:10 WIB
Mikhael Gewati

Editor

KOMPAS.com - Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menegaskan, divestasi Freeport Indonesia (PTFI) dengan cara melepas saham melalui pasar modal atau Initial Public Offering (IPO) adalah tidak tepat.

Ferdy mengatakan itu karena tidak setuju dengan pernyataan mantan Menteri ESDM Sudirman Said yang menganjurkan agar skema divestasi PTFI melalui IPO.

“Kalau dilepas melalui mekanisme IPO yang untung hanya pengusaha kaya. Pelaku pasar modal hanya 0,6 persen penduduk Indonesia,” kata Ferdy di Jakarta dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (27/2/2019).

Sudah begitu, kata Ferdy, banyak investor yang membeli saham di pasar modal adalah investor asing. Ini akhirnya memicu terjadinya capital outflow besar-besaran ketika terjadi krisis di Indonesia.

Baca jugaPasca Akuisisi, Inalum Beberkan Keuntungan dari PT Freeport Indonesia

Ferdy yang merupakan penulis buku “Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara” juga mengatakan, mekanisme pelepasan melalui pasar modal tak pernah dianjurkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara.

“Jika melalui IPO, saham Freeport akan menjadi rebutan pengusaha lokal yang memiliki banyak uang dan menjadi incaran para politisi,” kata dia.

Ferdy kemudian memberikan contoh pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia (GIA). Pada saat itu, mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazarudin memborong 400 juta saham atau Rp 300 miliar yang dilakukan 5 perusahaan miliknya.

Tak cuma itu, kata dia, setelah IPO GIA, salah satu pengusaha kelas kakap mendapat pinjaman credit suisse dan memborong 351.6 juta lembar atau 10 persen saham GIA.

“Fakta itu mau menunjukkan bahwa opsi divestasi saham PTFI melalui IPO bukan solusi cerdas, tetapi solusi instan,” kata Ferdy.

Lebih lanjut, ia menyanggah pula soal pernyataan Sudirman bahwa investor bisa membangun smelter tembaga di PTFI tanpa perlu melakukan perpanjangan kontrak.

Menurut Ferdy, perpanjangan kontrak dan pembangunan pabrik smelter di PTFI sampai tahun 2041 adalah keputusan bisnis.

Aktivitas PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg Papua, IndonesiaDok. Humas PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau INALUM Aktivitas PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg Papua, Indonesia

Jadi tanpa ada perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, Freeport tidak akan berinvestasi di tambang underground yang nilainya mencapai 17 miliar dolar AS dan pembangunan smelter tak berjalan.

“Coba Sudirman Said tanya investor. Investor mana yang mau bangun pabrik smelter tembaga dengan dana besar mencapai 2,3 miliar dolar AS, jika izin tidak diperpanjang. Kok logikannya kebalik ya, bangun smelter dulu baru diperpanjang. Pantas dulu negosiasi kontrak terkait divestasi dengan Freeport enggak jalan,” terang Ferdy.

Maka dari itu, Ferdy menegaskan bahwa memperpanjang kontrak Freeport sampai tahun 2041, dan mekanisme korporasi yang dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham PTFI adalah langkah paling elegan. 

Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia melalui perusahaan Holding Industri Pertambangan Inalum resmi memiliki 51,23 persen saham PTFI pada akhir tahun lalu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com