Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurism # 8: Lifestyle – Karena Tak Ada Yang Ingin Disalahpahami.

Kompas.com - 11/03/2019, 12:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


SEORANG pria tua yang tampil modis dengan kacamata hitam khasnya mengatakan hal ini dengan penuh semangat saat ia diwawancarai,

"My job is not to do what she did, but what she would have done."

"She" yang dia maksud adalah Gabrielle "Coco" Chanel, pendiri rumah mode CHANEL. Pria tua ini lanjut bicara, "…the good thing about Chanel is, it is an idea you can adapt to many things."

Pria ini baru saja berangkat menuju nirwana. Dialah Karl Lagerfeld.

Karl Lagerfeld telah pergi, dan mungkin hanya kalangan tertentu yang mengenal namanya. Tapi, mungkin jauh lebih banyak yang mengenal karya-karya desainnya di rumah mode Chanel.

Dialah Creative Director di rumah mode itu untuk waktu yang sangat lama. Lagerfeld dan Chanel seperti dwi-tunggal yang memastikan karya seni ada pada tahtanya yang tinggi.

Tak seperti kota Roma yang abadi, Paris telah menjadi ‘ruang kerja sekaligus dipan kematian’ pria eksentrik asal Jerman ini. Namun begitu, Paris pulalah yang membesarkan nama Lagerfeld menjadi salah satu ikon desain pakaian dan aksesoris premium dunia.

Lagerfeld memang sudah pergi ke keabadian. Tetapi seni yang dia tenun dan tinggalkan dalam ribuan desain Chanel tetaplah abadi di bumi fana ini.

Menarik untuk menyimak elegi dari CEO Chanel Alain Wertheimer tentang almarhum Lagerfeld, “Lagerfeld selalu mendahului zamannya, kreativitasnya sungguh jenius, dan ia memiliki kemurahan hati serta intuisi luar biasa yang berkontribusi pada kesuksesan rumah mode Chanel di seluruh dunia.”

Sebentar, saya ingin menyimak lagi kata-kata Wertheimer…”Lagerfeld selalu mendahului zamannya”. Dan saya renungkan dalam-dalam bagian kalimat itu.

Bukankah spirit seni memang tak mengenal zaman? Timeless.

Mungkinkah yang dimaksud Wertheimer adalah ‘trend’, atau sesuatu yang ‘sedang IN’ dalam satu waktu tertentu?  Dan, apakah itu berarti mengonfirmasi kembali bahwa industri berbasis seni dan kreativitas berimajinasi takkan pernah lekang dimakan jaman?

Lifestyle 4.0, atau...

Begini maksud saya. Saya bisa menerima adanya istilah Industry 4.0. Istilah ini memang ada sejarahnya dari sejak Revolusi Industri terjadi dengan diketemukannya mesin uap di Eropa.

Kementerian BMBF di Jerman (Kementerian Federal untuk Pendidikan dan Riset) menginisiasi istilah Industry 4.0 ini untuk fokus pada digitalisasi industri manufaktur di negeri panzer itu.

Tetapi mengapa harus ada Education 4.0, Healthcare 4.0, ada juga Military 4.0 meski tak terlalu populer? Lalu ada Art 4.0, Fashion 4.0, mengapa harus latah?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com