Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Sekolah untuk Orang Bosan, Mungkinkah?

Kompas.com - 09/04/2019, 16:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


WANITA itu berhenti sejenak sebelum ia menerawang ke arah audience TEDx Chapman-U. “Our job was more like a hobby for us, rather than a chore. But we realized, we had overstayed our welcome — and it’s time for something new.” Untuk sesaat keheningan melanda audience.

Mina Morita bukanlah sosialita. Ia bahkan tak terlalu dikenal di kampus tempat ia menjadi pembicara TEDx. Ia hanya ingin berbagi cerita bagaimana banyak sahabatnya curhat mengenai perkara yang kurang lebih sama: bosan bekerja.

Apakah karena soal remunerasi? Konflik kolegial? Jam kerja yang terlalu panjang?

Bukan. Tak ada yang membicarakannya secara pasti apa penyebab mereka bosan. Mereka hanya…bosan.

Kisah yang dibagikan Mina Morita di Universitas Chapman, California, tak jauh berbeda dengan kisah anak-anak muda – millenials – yang merasa pekerjaan telah memenjarakan kebebasan mereka.

Bukan soal jam kerja semata, atau gaji, tapi lebih dari itu…mereka lebih menginginkan suatu aktivitas yang ‘gue banget’ yang menyenangkan mereka. Uang hanyalah akibat.

Ribuan kilometer dari California, di Seoul, Korea Selatan, beberapa eksekutif muda yang bekerja di sebuah pabrikan smartphone terbesar di dunia, satu persatu rontok meninggalkan pekerjaan mereka.

Gaji mereka di perusahaan itu sebagai freshgrad saja sudah setara dengan 60.000 dolar Amerika per tahun, dan itu sama dengan tiga kali lipat rata-rata penghasilan freshgrad di perusahaan-perusahaan lain di Korea Selatan.

Ke mana mereka pergi? Ke perusahaan kompetitor? Ke industri lain? Merintis jadi usahawan dan buka bisnis?

Ternyata tidak. Sebagian besar dari mereka lebih memilih menjadi youtuber, blogger, gamer (esport athlete) atau lifestyle influencer.

Sebagian lainnya memilih kembali ke desa dan buka kebun sayuran. Banyak yang benar-benar hanya memakai tabungan mereka untuk merintis ‘karir’ baru tersebut.

School of Quitting Jobs

Salah satu yang memilih resign dari pabrikan smartphone itu, Jang Su-han, dengan sedikit iseng mendirikan sebuah sekolah yang belum pernah ada di planet ini: School of Quitting Jobs.

Sekolah nyleneh yang ia dirikan di tahun 2016 itu rupanya berhasil menarik minat 7000-an orang untuk belajar di sana.

Sekolah dengan hanya tiga ruang kelas itu menawarkan modul aneh-aneh – setidaknya menurut kita – tapi bila Anda memiliki gen futurist, modul-modul seperti ‘How to brainstorm a Plan B’, atau ‘Managing Identity Crisis’, hingga ke modul pasaran seperti ‘How to Youtube’, tampaknya adalah hal-hal yang baru hit saat ini di kalangan millenial.

Di pintu masuk sekolahnya tertulis “Don’t tell your bosses, say nothing even if you run into college, and never get caught until your graduation.”

Mina Morita benar dalam hal ini. Ada sesuatu yang dulu benar kini menjadi sangat salah.

Dulu, meski sekarang sebenarnya masih ada yang mengejar, orang bekerja untuk stabilitas keuangan, mendapatkan jaminan kesehatan dan tunjangan-tunjangan yang ‘membahagiakan’ karyawan.

Ketika pertama kali bekerja, barangkali Mina dan juga Jang Su-han mengejar hal-hal itu tadi. Namun dalam perjalanannya, banyak hal yang baru mereka sadari tak dapat mereka kendalikan, termasuk jalur karir mereka sendiri.

Di Korea Selatan misalnya, budaya korporat konglomerasi gaya Chaebol berbeda dengan di Amerika atau Eropa. Perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan menganut kultur budaya hirarki yang sangat ketat dan kuat, jenjang karir sangat tergantung senioritas, dan nyaris mustahil karir naik saat atasannya masih berada di posisinya.

Masalah bertambah besar tatkala lulusan-lulusan universitas memiliki ketrampilan yang homogen alias kurang diversifikasi.

Anak-anak muda yang sudah terlanjur terjebak di korporat, tak peduli berapa lama mereka sudah berada di sana, memiliki kedenderungan untuk rontok di satu dua tahun ini.

California dan Seoul mewakili gelombang besar-besaran dari dari trend ‘kebosanan yang amat sangat’ di seluruh dunia. Dan seperti kata-kata Mina Morita, “It’s time for something new” menjadi trend baru.

Milenial Indonesia

Lalu saya ingat desa saya sendiri, Indonesia. Setahun terakhir ini saya berkesempatan mengamati beberapa tempat eksotiknya tempat para milenial berkumpul di korporat: Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogya, dan Surabaya. Saya banyak berbicara dengan corporate HR di beberapa perusahaan yang saya sambangi.

Di tengah hiruk-pikuk politik saat penduduk sedang memilih kepala desa, saya melihat anak-anak mudanya masih belum tertular virus California dan Korea itu. Sebagian besar masih ingin melihat dunia yang ideal melalui perkantoran-perkantoran yang mapan.

Semangat berkarir untuk ikut sumbangsih bagi desa masih kental, dan anak-anak muda ini sangat bersemangat menjadi life-long learner.

Berbeda dengan para lulusan universitas Korea yang dianggap kira-kira homogen lah, anak-anak muda kita di sini jauh lebih terbuka pada peluang-peluang di luar bidang ilmu dan keahlian mereka.

MLM (multi level marketing) misalnya. Anak-anak muda kita seperti tergila-gila olehnya. Mendadak mereka menjadi multi-tasker, sembari mengerjakan pekerjaan kantornya, mereka juga membangun jaringan jualan apa saja yang ditawarkan pasar dan diminta pasar.

Sulit melihat anak-anak muda California dan Korea Selatan berbondong-bondong nongkrong di satu tempat untuk mem-prospek calom member baru MLM seperti di Indonesia.

Di desa ini, kebersamaan, kekeluargaan, keterhubungan, sangatlah kuat. Mereka tak sempat bosan. Berpikir tentangnya pun tak sempat.

Gaya hidup komunal

Ada beberapa hal yang saya temukan dari fenomena ini.

Pertama, anak-anak muda kita terbiasa hidup komunal, berkongsi, bersosial. Mereka tak pernah kesepian, apalagi kehabisan ide.

Banyak hal besar terlahir dari obrolan sederhana di warung kopi, di parkiran, atau di antrean bus kota. Gaya hidup anak-anak muda seperti ini belum sepenuhnya dikapitalisasi.

Mereka lebih mudah diajak berkolaborasi ketimbang berkompetisi. Bibitnya sudah ada, tinggal disemai. Di zaman yang diatur oleh berbagai ekosistem, kolaborasi menjadi faktor penentu keberhasilan kolektif. Bermain sendirian cenderung berakhir buruk.

Kedua, bosan adalah buah dari rutinitas yang dipatok, dipagari sendiri. Bangsa yang gampang bosan biasanya terjebak dalam rutinitas yang jauh dari sifat ketekunan.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Whats New
Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Whats New
IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

Whats New
Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Whats New
Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Whats New
Jakarta, Medan, dan Makassar  Masuk Daftar Smart City Index 2024

Jakarta, Medan, dan Makassar Masuk Daftar Smart City Index 2024

Whats New
Pentingnya Transparansi Data Layanan RS untuk Menekan Klaim Asuransi Kesehatan

Pentingnya Transparansi Data Layanan RS untuk Menekan Klaim Asuransi Kesehatan

Whats New
Apakah di Pegadaian Bisa Pinjam Uang Tanpa Jaminan? Ini Jawabannya

Apakah di Pegadaian Bisa Pinjam Uang Tanpa Jaminan? Ini Jawabannya

Earn Smart
Bea Cukai Kudus Berhasil Gagalkan Peredaran Rokol Ilegal Senilai Rp 336 Juta

Bea Cukai Kudus Berhasil Gagalkan Peredaran Rokol Ilegal Senilai Rp 336 Juta

Whats New
Ditanya Bakal Jadi Menteri Lagi, Zulhas: Terserah Presiden

Ditanya Bakal Jadi Menteri Lagi, Zulhas: Terserah Presiden

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com