Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RISED: 75 Persen Konsumen Tolak Kenaikan Tarif Ojek Online

Kompas.com - 06/05/2019, 15:22 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan tarif ojek online (ojol) berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019 telah resmi berlaku tanggal 1 April. Jelang 5 hari setelah peresmian tarif, rupanya 75 persen konsumen menolak kenaikan tarif tersebut.

"Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) menemukan, 75 persen tarif ojol ditolak oleh konsumen. Kenaikan tarif ojol yang signifikan paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek," ucap Ketua Tim peneliti Rised Rumayya Batubara dalam diseminasi hasil riset kenaikan tarif ojek online di Jakarta, Senin (6/5/2019).

Berdasarkan hasil riset yang melibatkan 3.000 pengguna ojol, 67 persen masyarakat menolak dalam zona I (non-Jabo, Bali dan Sumatera), 82 persen masyarakat menolak dalam zona II (Jabodetabek), dan 66 persen masyarakat menolak di zona III (wilayah sisanya).

Menurut Rumayya, penolakan ini terjadi karena 72 persen pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah, terutama yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.

"Kenapa ada penolakan? Kita melihat data pengguna ojol rata-rata menengah ke bawah, jadi uangnya hanya habis untuk transportasi yang mengalami kenaikan. Padahal konsumen sensitif dengan kenaikan harga," kata Rumayya.

Sementara itu, Rumayya menyebut sejak awal alasan utama 52, 4 persen konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya. disusul 32,4 persen bisa pesan kapan saja, 4,3 persen layanan door-to-door, dan 10, 9 persen alasan lainnya.

Apalagi rata-rata kesediaan konsumen untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan hanya sebesar Rp 5.200 per hari untuk warga Jabodetabek dan Rp 4.900 per hari untuk non-Jabodetabek. Di sisi lain, kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000 per hari.

"Nah, dari kesediaan masyarakat dan kenaikan tarif saja sudah tidak masuk (tidak sesuai)," pungkas Rumayya.

Rumayya menyebut masyarakat pun lebih memilih moda transportasi lain yang lebih hemat karena adanya kenaikan tarif ini.

"Mereka sekarang beralih ke angkot. Biasanya mereka naik ojol hanya bayar Rp 23 ribu, saat ini mereka membayar hampir dua kali lipat hingga Rp 40.000," ucap Rumayya.

Lalu bagaimana dengan kehematan waktu jika masyarakat beralih ke moda transportasi lain?

Menurut ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal, kehematan waktu bagi para konsumen adalah nomor sekian jika dibanding dengan kenaikan tarif.

"Selama ini saya rasa konsumen lebih mempertimbangkan harga dibanding kehematan waktu Yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa pergi ke kantor, kalau murah mereka akan pakai moda transportasi itu. Kalau masalah waktu, mereka bisa bangun lebih pagi dibanding menambah budget-nya lebih tinggi," kata Fithra Faisal di Jakarta, Senin (6/5/2019).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com