Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Baru Ojek Online Bisa Ganggu Ekonomi Indonesia...

Kompas.com - 07/05/2019, 09:34 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tarif baru ojek online yang mulai berlaku pada 1 Mei 2019 menuai berbagai kritikan. Tarif baru yang realitasnya merupakan kenaikan tarif ini dinilai memberatkan konsumen.

Kenaikan tarif juga dinilai tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Yang ada, kenaikan tarif ini justru berpotensi menggangu ekonomi Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019, terdapat beberapa batasan tarif untuk mitra pengemudi ojek online.

Tarif batas bawah yang semula Rp 1.500 menjadi Rp. 2.000. Tarif batas atas yang semula Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.

Baca juga: RISED: 75 Persen Konsumen Tolak Kenaikan Tarif Ojek Online

Kenaikan tarif tersebut rupanya hanya tarif bersih yang didapat mitra pengemudi, bukan konsumen. Akibatnya, tarif yang dikenakan kepada konsumen jauh lebih mahal karena harus membayar jasa sewa aplikasi.

"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub nomor 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," ucap Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development, Rumayya Batubara di Jakarta, Senin (6/5/2019).

Di Zona II (Jabodetabek), tarif yang dikenakan terhadap konsumen mencapai Rp 2.500 sampai Rp 3.125 per kilometer sebagai tarif dasar. Padahal dalam keputusan Menteri Perhubungan hanya sekitar Rp 2.000 sampai Rp 2.500. Untuk tarif minimum, dikenakan mulai Rp 8.000 hingga Rp 10.000.

Untuk Zona I (Jawa non-Jabo, Bali, dan Sumatera) dan Zona III (Wilayah sisanya) pun tak jauh berbeda. Di zona I, tarif dasar berada di kisaran Rp 2.312 sampai Rp 2.875. Di Zona III, berada di kisaran Rp 2.625 sampai Rp 3.250.

Kenaikan tarif ojol yang cukup signifikan ini sontak membuat banyak pihak khususnya konsumen tidak setuju. RISED menemukan, 75 persen masyarakat Indonesia menolak kenaikan tarif ini. Kenaikan tarif paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek sebesar 82 persen.

Rumayya mengatakan, penolakan ini terjadi karena 72 persen masyarakat pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah. Apalagi, kesediaan rata-rata konsumen untuk membayar lebih (willingness to pay) berkisar Rp 5.000, sementara kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000.

"Padahal sejak awal, alasan utama konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya," sebut Rumayya.

Kesejahteraan pengemudi

Kenaikan tarif ini pun rupanya tak memicu peningkatan kesejahteraan ojol. Sebab, kenaikan tarif justru menggerus permintaan ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.

Seperti diketahui, 75 persen masyarakat telah menolak kenaikan tarif tersebut. Hal ini membuat masyarakat berpindah moda transportasi dan menggerus pendapatan mitra.

"Mereka sekarang beralih ke angkot. Biasanya mereka naik ojol hanya bayar Rp 23 ribu, saat ini mereka membayar hampir dua kali lipat hingga Rp 40.000," ucap Rumayya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com