Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Jangan Suruh Mereka Pulang dari Silicon Valley

Kompas.com - 13/06/2019, 07:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PICHAI Sundaradjan hanyalah anak kemarin sore di Madurai, Tamil Nadu, India. Setelah lulus dari Indian Institute of Technology di Kharagpur, ia mengadu nasib ke Amerika dan bekerja di Applied Materials, lalu lanjut sebagai konsultan di McKinsey & Co.

Tak puas sukses sekedar berkarir di Amerika, ia menambah ilmunya dengan belajar di dua kampus prestisius di Amerika untuk meraih dua gelar Masternya: di Stanford untuk belajar Material Sciences & Engineering, lalu di Wharton Business School untuk MBA-nya.

Nasib baik tak berhenti di situ. Tahun 2004 ia bergabung dengan Google dan sejak itu bertanggungjawab atas pengembangan berbagai layanan Google yang kita nikmati setiap hari saat ini: Google Chrome, Gmail, Google Maps, Google Drive, termasuk pengembangan terus menerus Android OS.

Tanggal 10 Agustus 2015 dia diangkat menjadi CEO Google LLC oleh duo pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin. Hari ini, Sundar Pichai – dengan nama itu ia dikenal luas – menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh tak hanya di Silicon Valley, tetapi juga di planet Bumi.

Baca juga: Sempat Nyaris Gagal, Ini Cara CEO Google Lolos Wawancara Kerja

Sundar Pichai tak sendirian mengalami nasib baik seperti ini. Kompatriotnya asal India kelahiran Hyderabad, Satya Nadella bahkan menjadi CEO Microsoft setahun sebelumnya. Ini melengkapi daftar India perantauan yang seakan menancapkan bendera-bendera mereka di puncak Everest korporasi-korporasi besar dunia.

Sebut saja Indira Nooyi kelahiran Madras yang jadi CEO Pepsi Co, Ajaypal Singh Banga kelahiran Pune yang menjadi CEO Mastercard, atau Shantanu Narayen yang menjadi CEO Adobe, Rajeev Suri kelahiran New Delhi yang menjadi CEO Nokia, dan juga Sanjay Kumar Jha yang menjadi CEO Motorola Mobility setelah sebelumnya menjabat sebagai COO Qualcom.

Oo, jangan salah. Saya tak membahas hal yang sangat spesifik tentang India dan orang-orang hebatnya. Memang menurut penelitian di Universitas Southern New Hampshire, para manajer India di perantauan, artinya tak hanya di Silicon Valley saja, rata-rata sukses berkarir di korporasi karena ‘paradoxial blend of genuine personal humility and intense professional will’.

Tunggu dulu, mari kita cerna karakteristik pertama: genuine personal humility. Bukankah rata-rata (tanpa menggeneralisasi) orang Asia Selatan dan Tenggara memiliki karakteristik itu?

Sekarang mari kita cerna di mana letak paradoks-nya: intense professional will. Nah, barangkali inilah kekuatan kultur orang-orang India perantauan. Mereka sangat kompetitif dan agresif menjadi yang terbaik di kelasnya, di angkatannya, di perusahaannya. Sampai di sini saya puas memahaminya.

Apakah mereka harus pulang kampung?

Ya dan tidak. Mari kita lihat petualangan kehidupan si anak miskin asal Ukraina, Jan Koum. Bersama Brian Acton ia mengembangkan instant messaging terpopuler saat ini, Whatsapp (WA), dan saat Facebook mengakuisisi WA dengan harga fantastis senilai 19 miliar dollar AS, apakah Ukraina lalu memanggilnya pulang sebagai borjuis baru? Tidak.

Eduardo Saverin, co-founder Facebook, kekayaannya sudah lebih dari 9 miliar dollar AS. Apakah ia harus balik ke kampung halamannya di Sao Paulo, Brazil? Tidak. Ia bahkan menetap di Singapura dan menikahi gadis Indonesia di sana.

Petenis nomor satu dunia asal Serbia, Novak Djokovic, dengan penghasilannya yang lebih dari 130 juta dollar AS selepas memenangkan berbagai turnamen dunia, apakah ia pulang ke Belgrade di Serbia? Tidak. Ia bahkan menetap di Monte Carlo, Monaco, dan dari sana ia mengharumkan nama Serbia di pertandingan-pertandingan besar dunia.

Mereka semua adalah outliers dari desanya masing-masing, melawan berbagai ketidak-mungkinan di negeri seberang, di perantauan. Habitat mereka adalah desa yang lebih besar, lebih luas, dunia global. Mereka sudah menjadi global citizen. Memangnya, siapa yang mengharuskan mereka pulang kampung?

Saya kembali ke Indonesia tahun 2003 bukan karena latah spirit pulang kampung. Ayah saya sakit dan kemudian wafat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com