Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Garuda Indonesia, Nama Besar dan Kepentingan-kepentingan di Baliknya

Kompas.com - 04/07/2019, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Sejak masih sekolah SD di desa, saya selalu membayangkan bisa naik Garuda Indonesia. Sebuah maskapai nasional, yang menyimbolkan banyak hal: kesuksesan, kebanggan, uang yang banyak, dan kehebatan.

Maklum, tidak setiap orang berkesempatan (atau berkeinginan) naik maskapai ini. Harga tiketnya yang di atas tiket maskapai lain, menjadi pertimbangan utama konsumen memilih naik Garuda.

Dan, 20 tahun kemudian saya baru bisa merasakan naik Garuda. Sebelum itu, saya pernah naik pesawat, namun yang kelas low cost carrier atau bertarif murah karena kantong memang pas-pasan.

Baca juga: Dirut Garuda Mundur dari Jabatan Komisaris Utama Sriwijaya Air

Booming penerbangan murah di era 2000-an tak membuat brand Garuda surut. Bahkan maskapai ini semakin mengukuhkan posisinya di pasar.

Seorang menteri asal Aceh pernah bercerita, di daerah asalnya, konsumen Garuda berusaha untuk membedakan dirinya dengan penumpang maskapai lain.

“Saya lihat para penumpang Garuda ini selalu menaruh tiketnya di saku baju atas. Tiket tidak dilipat, jadi bisa terlihat orang lain. Sementara penumpang maskapai lain menyimpan tiketnya di saku celana,” cerita Pak Menteri itu.

Tak hanya di Aceh, di Jakarta dan daerah lain pun, banyak penumpang Garuda yang bertindak kurang lebih sama. Mereka membiarkan penanda bagasi tetap menempel di koper. Ini beda dengan penumpang maskapai lainnya yang kebanyakan dilepas setelah sampai di tempat tujuan.

Saat naik bis bandara, penumpang yang turun di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pun juga merasa lebih pede memberitahu ke kernet, ketimbang mereka yang turun di terminal lain.

Ya, begitulah Garuda Indonesia. Maskapai ini memang menyandang nama besar dan brand kuat, yang membuat konsumennya merasa berbeda dari konsumen maskapai lain.

Baca juga: Soal Laporan Keuangan, Luhut Bilang Garuda Tak Boleh Bohong Lagi

Hal ini yang kemudian membuat konsumen dan publik menaruh ekspektasi yang sangat tinggi ke Garuda Indonesia. Tak peduli bagaimana industri penerbangan hanya menyisakan margin yang tipis bagi maskapai, publik selalu berharap Garuda untung gede.

Wajah Pemerintah

Garuda Indonesia adalah wajah pemerintah. Apapun yang terjadi pada maskapai ini, dianggap mencerminkan pemerintah.

Hal ini pula yang kemudian membuat Garuda kerap menjadi sasaran kritik oleh mereka yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Siapapun yang mengritik pemerintah, rasanya tak afdhol jika tak sekalian menyorot Garuda.

Masih ingat ketika kampanye pilpres kemarin? Saat itu capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengomentari kinerja BUMN yang dianggap amburadul. Tak hanya itu, mantan Danjen Kopassus itu juga menyinggung soal Garuda yang bangkrut.

"BUMN, Pertamina, Garuda Indonesia, the flag carrier of Republic of Indonesia, sekarang dalam keadaan bangkrut," kata Prabowo.

Capres 02 niatnya mengkritik kebijakan pemerintah terkait BUMN. Yang kemudian disebut salah satunya adalah Garuda Indonesia. Padahal, ada BUMN penerbangan lain yang kondisinya memang bangkrut, yaitu Merpati Nusantara. Namun yang disebut justru Garuda Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com