Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berawal dari Kios di Pasar Klewer, Sritex Kini Punya Aset Rp 19,6 Triliun

Kompas.com - 07/08/2019, 11:32 WIB
Yoga Sukmana,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nama PT Sri Rezeki Isman mungkin masih awam di telinga sebagian orang. Namun bila mendengar nama populernya yakni Sritex, banyak orang akan mengenalnya sebagai perusahaan tekstil besar asal Indonesia.

Produk tekstil Sritex merambah pasar tak hanya ada di Indonesia, namun juga ke luar negeri. Bahkan produk baju militernya yang terkenal sudah digunakan oleh pasukan militer di lebih dari 30 negara.

Perjalanan Sritex menjadi perusahaan tekstil besar tidak ditempuh dengan mudah. Jalan berliku dan terjal harus dilalui lebih dari 50 tahun.

"Sritex ini awalnya dari kios yang dibangun oleh ayah saya (Lukminto) di Pasar Klewer tahun 1966," cerita Direkrut Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto di Kompas CEO Talk, Menara Kompas, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Saat itu Lukminto menjadi pedagang kain di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Sementara kainnya berasal dari produsen di Bandung, Jawa Barat.

Bangun Pabrik

Merasa capek harus bolak-balik Bandung-Solo, Lukminto akhirnya membuat pabrik kain skala kecil di Solo pada 1968. Saat itu, hanya ada 4 orang yang membantu Lukminto.

Dua tahun berselang, skala bisnis Lukminto mulai tumbuh dengan mencoba industri pencelupan kain. Produknya pun laku dijual di pasar domestik yakni di Solo.

Baca: Perang Dagang, Sritex Incar Pasar Amerika Serikat Lebih Luas

Memiliki hasrat membesarkan Sritex, Lukminto pun memindahkan bisnisnya ke Sukoharjo dengan membuat pabrik yang terus diperbesar pada 1978.

Sukoharjo jadi titik awal yang baru bisnis Lukminto, karena Sritex mulai mengembangkan industri yang terintegrasi, mulai dari pembuatan benang hingga garmen pada periode 1980-1990.

Seiring perkembangan bisnis, produk Sritex dikenal luas termasuk menyuplai seragam tempur TNI. Pada 1995, Sritex bahkan menyuplai seragam militer NATO, yakni untuk tentara Jerman.

"Pada 1997 saya bergabung setelah pulang belajar dari AS. Saat itu saya hanya asisten saja," kata Iwan.

Pasca-krisis 1998, perjalan industri tekstil Indonesia tidak mudah. Sritex merasakan langsung hal itu. Industri tekstil diterpa isu industri negatif, sunset industri dan lain-lain.

Akibatnya, bank-bank tidak memiliki kepercayaan kepada industri tekstil. Turbulensi itu, kata Iwan, terjadi hingga 2006.

Namun seiring perkembangan waktu, bank-bank mulai kembali terbuka dan percaya kepada industri tekstil. Hal ini dimanfaatkan oleh Sritex untuk mendapatkan pinjaman agar perusahaan bisa ekspansi.

Kini di usianya yang 53 tahun, Sritex mampu tumbuh pesat. Produknya sudah merambah dunia, termasuk menyuplai seragam militer ke lebih dari 30 negara.

Aset perusahaan pun melonjak berkali-kali lipat. Berdasarkan laporan keuangan kuartal II-2019, aset Sritex tercatat mencapai 1,4 miliar dollar AS atau Rp 19,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS).

Perkembangan bisnis itu juga menyerap banyak tenaga kerja, yakni 50.000 karyawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com