Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkuat Daya Saing, Industri Manufaktur Harus Lakukan Banyak Terobosan

Kompas.com - 21/08/2019, 12:06 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Sektor industri manufaktur dinilai perlu memperbanyak terobosan di tengah ketatnya persaingan dengan pelaku usaha di kawasan Asia yang semakin ketat.

Inovasi melalui pemanfatan teknologi dan efisiensi proses produksi akan menjadi kunci bagi penguatan daya saing industri manufaktur di dalam negeri.

”Kalau mau inovasi ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan,” jelas ekonom Universitas Indonesia Lana Sulistyaningsih dalam keterangannya, Rabu (21/8/2019).

Selama dua tahun terakhir, kontribusi sektor industri manufakur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut di tahun 2018, sektor ini hanya berkontribusi 19,82 persen terhadap PDB sebesar Rp 14,837 triliun.

Adapun pada tahun sebelumnya industri manufaktur menyumbang 21,22 persen dari PDB RI sebesar Rp 13,588 triliun.

Baca juga: Mei 2019, Indeks Manufaktur RI Capai Titik Tertinggi dalam 9 Bulan

”Yang perlu jadi perhatian adalah pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat. Jadi bukan pada prosentase kontribusi terhadap PDB saja yang perlu diwaspadai,” ujarnya.

Lana menyebut, banyak hal yang membuat daya saing industri nasional tidak solid. Masalah terbesar, imbuh dia, bukan berasal dari pelaku usahanya, namun lingkungan bisnis yang menciptakan biaya mahal.

”Beberapa faktor yang membuat biaya produksi mahal adalah aspek non teknis seperti pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Biaya itu bisa mencapai 10 persen dari biaya produksi,” tambahnya.

Dalam riset yang dirilis Bank Dunia, peringkat kemudahan bisnis Indonesia saat ini level 73. Jauh lebih baik dibandingkan level 123 pada 2014 saat Jokowi kali pertama memimpin.

Level tersebut masih jauh di bawah Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan kalah dibandingkan Vietnam.

Baca juga: BI: Kuartal I 2019, Kinerja Manufaktur RI Meningkat

”Dari 10 parameter penilaian, kita hanya unggul dua parameter dari Vietnam yang ada di peringkat 60," terang Lana.

Dengan strategi yang tepat, sebenarnya banyak sektor industri yang sukses memperkuat bisnisnya. Contohnya dengan beralih menggunakan gas bumi sebagai sumber energi.

Dengan harga gas yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, kinerja sektor industri pengguna gas bumi juga solid.

Sejumlah perusahaan keramik, misalnya, mampu mengoptimalkan peluang pasar dengan sangat positif. Contohnya, PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk yang pendapatannya naik hingga 47,37 persen menjadi Rp 84 miliar di kuartal I 2019 dan laba bersih tumbuh 50 persen menjadi Rp 6 miliar.

Direktur Cahayaputra Asa Keramik Juli Berliana mengatakan, kinerja positif sepanjang kuartal I 2019 itu didorong oleh pengenaan bea masuk tindakan pengamanan terhadap impor ubin kemarik mulai Oktober 2018.

Baca juga: Ekspansif, Industri Manufaktur Masih Topang Pertumbuhan Ekonomi

PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) jug mampu meraih pendapatan Rp 561,22 miliar, naik 13,44 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, Rp 494,71 miliar. Laba bersih ARNA juga naik 41,20 persen menjdi Rp 55,69 miliar.

Selama beberapa tahun ini pengusaha keramik seringkali mengeluhkan harga gas yang tinggi membuat produknya kalah bersaing. Salah satunya dengan produk keramik asal China.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com