JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan meratifikasi perjanjian internasional, Framework Convention on Tobacco Control (FTCC) karena dinilai sarat kepentingan asing yang berberdampak pada industri tembakau tanah air.
Sebagai pengganti, pemerintah telah menetapkan peraturan lain untuk memastikan industri ini dapat dikontrol. Yaitu lewat perubahan kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
Peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Bayu Kharisma telah melakukan kajian tentang kebijakan cukai rokok dengan skema simplikasi SKM dan penggabungan SPM. Hasilnya membuktikan, apabila kebijakan itu belaku maka berpotensi mengurangi penerimaan negara.
Baca juga : Cukai Rokok Tahun Depan Naik, Ini Pertimbangan Pemerintah
Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per-batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.
"Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per-bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per-bulan. Pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang," tutur Bayu di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Menurut Bayu, imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM juga akan meluas ke berbagai aspek.