Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sampah Non Organik Membeludak, Perusahaan Digital Ini Tawarkan Solusi

Kompas.com - 01/10/2019, 15:53 WIB
Kurniasih Budi

Penulis

KOMPAS.com - Sampah non organik perlu penanganan khusus agar tak menjadi ancaman kelestarian lingkungan.

Merujuk laporan Global E-waste Monitor 2017 dari United Nation University (UNU), volume limbah elektronik meningkat 8 persen dari 41,4 juta metrik ton (Mt) pada 2014 menjadi 44,7 juta metrik ton (Mt) pada 2016.

Laporan itu memprediksi, limbah meningkat 17 persen pada 2021 atau mencapai sekitar 52,2 juta Mt, sebagaimana dilansir Kompas.com (15/12/2017).

Adapun benda yang termasuk dalam limbah elektronik di antaranya smartphone, panel surya, kulkas, dan televisi.

Baca juga: Limbah Elektronik di Indonesia, dari Bahaya Sampai Solusinya

Pada 2016, masih berdasarkan laporan itu, hanya 20 persen limbah yang dikumpulkan dan didaur ulang.

Lantas, 4 persen limbah elektronik dibuang ke tempat pembuangan akhir. Sementara itu, 76 persen disimpan di gudang, dibakar, atau didaur ulang oleh lembaga pihak ketiga.

Masyarakat umumnya belum menyadari bahaya limbah elektronik. Padahal, limbah elektronik maupun komponen peralatan listrik mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).

Peduli sampah

Sejumlah daerah di Indonesia mulai serius menangani persoalan sampah, utamanya sampah non organik seperti limbak elektronik. Salah satunya Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Penanganan sampah non organik di wilayah itu dilakukan pemerintah daerah bersama swasta melalui aplikasi Octopus.

Direktur Utama PT Daur Ulang Industri Terpadu, Andi Moehammad Ichsan, mengatakan kerja sama itu merupakan dukungan pada program pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan bank sampah di Kota Makassar.

“Aplikasi berbasis IT berperan sebagai penghubung antara pengguna sampah secara langsung, kurir sampah plastik, serta unit bisnis sampah,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Selasa (1/10/2019).

Ilustrasi sampah plastik yang mendominasi tempat pembuangan.KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ilustrasi sampah plastik yang mendominasi tempat pembuangan.

Octopus sendiri merupakan aplikasi distribusi sampah yang mendukung kinerja bank sampah milik Pemerintah Kota Makassar untuk mereduksi sampah non organik yang sampai ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Aplikasi itu melakukan standarisasi jenis, kondisi, dan timbangan sampah non organik sehingga memberikan keuntungan bagi semua pihak dari mulai masyarakat, pemulung, dan unit bisnis sampah.

Sebagai informasi, Octopus memiliki 301 relawan yang nantinya akan melakukan pendampingan kepada pemulung dan satuan tugas (Satgas) kebersihan dalam menggunakan aplikasi Octopus.

Ichsan menambahkan, Octopus juga bekerja sama dengan Yayasan Peduli Pemulung yang memiliki 964 pemulung terdaftar dan terverifikasi yang nantinya bersama-sama dengan satgas kebersihan Kota Makassar.

“Mereka akan mendapatkan pelatihan dan pendampingan sebelum menjadi scavengers dari Octopus. Octopus juga bekerjasama dengan Yayasan Lestari Mulia dalam hal pelatihan serta pendampingan teknologi dan kognitif bagi para calon scavengers Octopus,” katanya.

Ia berharap, aplikasi itu dapat membantu bank sampah Kota Makassar menjadi pengelolaan bank sampah yang transparan dan akuntabel yang pertama di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com