KOMPAS.com - Resesi kembali menghantui pengusaha. Apalagi setelah UNTAD (Organ PBB yang mengurus pembangunan dan perdagangan dunia) mengumumkan ancaman resesi global 2020 yang mengancam negara-negara berkembang dan negara industri sekalipun.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi global sepanjang tahun 2019 adalah sinyal penting untuk memasuki tahun 2020. Tanda-tandanya memang semakin jelas. Selain antara Amerika Serikat dengan Tiongkok, kini perang tarif diberlakukan Presiden Donald Trump kepada India, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa.
Tiongkok tengah dipaksa menghadapi dilema baru. Pertumbuhan sektor industrinya melemah, terendah sejak 30 tahun belakangan ini menjadi 4,8 persen (2018) dan Q2 2019 lebih buruk lagi, tinggal sekitar 2 persen.
Sanksi yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Tiongkok itu segera mengganggu sejumlah negara yang menghasilkan produk dan permesinan untuk menembus pasar Tiongkok.
Jerman misalnya, memasuki ancaman resesi setelah Q2 kemarin ekonominya mengalami kemunduran yang hebat (minus 0,1 persen) karena mesin-mesin buatannya tidak dibeli Tiongkok. Demikian pula investor-investor mulai menarik diri dari Inggris, karena ketidakpastian Brexit.
Baca juga : Rhenald Kasali: CEO Harus Bisa Bedakan Resesi dan Disrupsi
Di Asia, selain Tiongkok, dan India, negara-negara yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor ekspor mulai terganggu. Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Jepang mulai terancam resesi.
Tetapi benarkah ancaman resesi menjadi satu-satunya hal yang harus dikhawatirkan pengusaha?
Nanti dulu. Selain ancaman resesi masih ada persoalan disrupsi dan leadership.
Beberapa hari lalu saya sudah mengingatkan para CEO bahwa kita semua perlu benar-benar pandai membedakan mana kemunduran akibat resesi dan mana yang diakibatkan disrupsi.
Menimpakan kemunduran pendapatan dan keuntungan perusahaan pada resesi bukanlah solusi yang baik bagi CEO. Seakan-akan CEO hanya menggantungkan nasibnya pada keadaan ekonomi atau kepemimpinan orang lain.
Studi-studi di berbagai penjuru dunia telah menunjukkan, bahkan pada masa resesi pun, faktor leadership menjadi penentu yang besar.
Masalahnya, berita-berita tentang resesi bukan hanya mengganggu ekonomi, tetapi juga melunturkan semangat juang CEO dan jajaran manajemennya.
Sekitar 90 persen CEO terbukti mendapatkan pembenaran atas memburuknya kinerja mereka dari berita buruk tentang perekonomian. Hanya sekitar sepuluh persen lainnya yang memilih keluar dari paradigma itu dan mengambil cara yang berbeda sehingga 70 persen di antaranya berhasil.
Itulah yang disebut sebagai confirmation trap. Kita masuk ke dalam perangkap pembenaran, yaitu adanya informasi-informasi yang bisa membenarkan kesalahan sendiri. Sebab semua orang letih mempertahankan stamina untuk terus tumbuh. Maka ibarat akhir pekan, semua sepakat perlu hari leyeh-leyeh sejenak.
Baca juga : Rhenald Kasali: Disrupsi Teknologi Itu Pasti
Faktanya, di tengah-tengah resesi, sedang berlangsung sebuah proses perubahan besar yang meluluhlantakkan puluhan ribu jenis usaha yang tidak efisien.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.