Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nufransa Wira Sakti
Staf Ahli Menkeu

Sept 2016 - Jan 2020: Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan.

Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak

Pelajari Asal Usulnya!

Kompas.com - 10/12/2019, 13:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMBACA Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau e-commerce, saya menjadi teringat saat menulis disertasi saya di Niigata University 10 tahun yang lalu.

Dalam Pasal 7 PP itu disebutkan bahwa pelaku usaha e-commerce luar negeri yang akan melakukan kegiatan usaha e-commerce di Indonesia dianggap hadir secara fisik di Indonesia bila memenuhi kriteria tertentu. Yakni, jumlah transaksi, nilai transaksi, jumlah paket pengiriman dan/atau jumlah trafik/pengakses.

Klausul ini menjadi salah satu rekomendasi saya terkait kriteria pembentukan BUT (Badan Usaha Tetap) dalam mencari solusi pengenaan pajak terhadap transaksi ecommerce (PMSE).

Baca juga: Mendag: Semua Pedagang E-Commerce Mesti Punya Izin Usaha

Dengan kriteria ini, perusahaan asing walaupun tidak mempunyai kantor secara fisik di Indonesia, dapat dianggap hadir secara ekonomi. Dengan demikian harus patuh pada aspek perpajakan di negara tempat bertransaksi secara elektronik. Hal ini sudah ditulis dalam disertasi saya 10 tahun yang lalu.

Ingatan saya langsung terkilas balik mengenai pembahasan hal ini ketika suatu hari saya dipanggil oleh profesor pembimbing disertasi. Kami berdiskusi tentang paper yang akan saya submit ke sebuah jurnal.

Pembahasan menyangkut mengenai konsep BUT pada e-commerce dan transaksi ekonomi melalui sistem elektronik. Setelah melihat draft paper yang sudah dibuat, beliau meminta agar mencari sumber data lain sebagai pembanding.

Data tersebut berupa dokumen Liga Bangsa-Bangsa yang dikeluarkan pada tahun 1920an. Liga Bangsa Bangsa adalah cikal bakal dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Saya tertegun dan berpikir bagaimana mencarinya?

Baca juga: Jokowi Terbitkan PP E-Commerce, Berikut Rinciannya

Setelah pertemuan dengan profesor di hari itu, dimulailah perburuan sang dokumen yang sudah sangat tua tersebut. Sasaran pertama adalah perpustakaan kampus. Hasilnya dengan sukses tidak diketemukan.

Kemudian perburuan dlanjutan ke Paman Google yang baik hati. Perlu waktu cukup lama serta ketabahan sendiri untuk mencari dokumen ini. Memang banyak yang menjadikan dokumen ini sebagai referensi atau sumber pustaka, tapi dokumen ini sendiri tidak pernah ada di internet.

Setelah berkutat hampir dua minggu, akhirnya ketemu juga. Ternyata semua perpustakaan universitas negeri di Jepang terhubung dalam sebuah link yang bisa diakses oleh para mahasiswanya.

Salah satu universitas yaitu Universitas Kyoto ternyata masih menyimpan dokumen atau kopi dari aslinya.

Lega rasanya. Dengan membayar ongkos kirim melalui perpustakaan universitas, dalam jangka waktu dua hari, dokumen sudah bisa diambil di perpustakaan kampus. Kita juga mendapatkan waktu 3 hari untuk membacanya.

Baca juga: Penjualan E-commerce Terus Meroket, Bagaimana Menarik Pajaknya?

Setelah menerima paper tersebut, seperti sudah diduga, sudah sangat tua, dan rapuh, tetapi masih bisa dibaca dengan jelas. Supaya lebih enak membacanya dengan nyaman, langsung saja dikopi dan dkembalikan ke kampus.

Setelah membaca dokumen tua tersebut, baru ketahuan bahwa paper yang saya buat agak tidak sesuai dengan prinsip dasarnya.

Tidak sia-sia memang membaca dokumen tersebut. Rasa lelah dan galau karena mencari dokumen tersebut langsung hilang. Dokumen tersebut menjadi inti, konsep awal serta fundamental sejarah dari dokumen perjanjian tax treaty yang sekarang berkembang di dunia perpajakan dan menjadi objek penelitian saya.

Dari sana baru terasa bahwa maksud sang profesor adalah supaya kita mempunyai pemahaman mendasar tentang sebuah kegiatan/kejadian yang berlangsung saat ini.

Kita juga bisa tahu perubahan-perubahan yang terjadi dalam puluhan tahun perjalanannya. Yang paling penting, kita bisa tahu latar belakang dan filosofi dari sesuatu yang kita pelajari.

Moral of the story, untuk mengetahui sesuatu, kita tidak boleh langsung menjustifikasi apa yang kita lihat saat ini. Diperlukan waktu untuk melihat ke belakang terutama akar sejarah atau permasalahannya. Dari sana, kita bisa melihat dengan lebih bijaksana serta mendalami persoalan sesungguhnya.

Terima kasih Profesor Fumihiro Komamiya!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com