Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Raja Nikel Dunia, Puluhan Tahun Hanya Ekspor Bijih Mentah

Kompas.com - 15/12/2019, 12:36 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia berbuntut panjang. Uni Eropa akan menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020.

Uni Eropa gerah dengan kebijakan larangan ekspor biji nikel yang dilakukan Indonesia, berdampak merugikan bagi industri baja di negara-negara Uni Eropa karena keterbatasan akses bahan baku baja.

Indonesia sendiri saat ini menguasai lebih dari 20% total ekspor nikel dunia. Negara ini menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa.

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

"Terlepas dari usaha yang kami lakukan, Indonesia tetap tidak beranjak dari langkahnya dan mengumumkan larangan ekspor pada Januaro 2020," kata Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom sebagaimana dikutip Kompas.com dari Reuters, Minggu (15/12/2019).

Baca juga: Larangan Ekspor Bijih Nikel dan Nasib Suram Industri Baja Eropa

Uni Eropa juga keberatan dengan kebijakan Indonesia yang membebaskan pajak dan bea masuk impor untuk pembangunan smelter sepanjang memenuhi konten lokal sebesar 30%, dan menganggap kebijakan itu sebagai subsidi ilegal.

Larangan ekspor bijih mineral sebenarnya sudah didengungkan jauh hari. Pemerintah mendorong pengolahan mineral bisa dilakukan dalam negeri untuk memberi nilai tambah ketimbang mengekspor dalam bentu bijih mentah.

Hilirisasi atau usaha meningkatkan nilai tambah tambang mineral dan batubara diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca juga: Luhut Resmi Cabut Penghentian Ekspor Nikel untuk Perusahaan Bersih

Pasal 95 huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 secara tegas menyebutkan, pemegang izin usaha pertambangan wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara di dalam negeri.

Dalam hilirisasi, pengolahan tidak hanya mengambil manfaat mineral dan batubara dalam bentuk bijih atau konsentrat. Tetapi mengolah dan memurnikan hingga menjadi bentuk lanjutan dengan nilai lebih tinggi.

Nilai tambah feronikel

Mengutip pemberitaan Harian Kompas 26 November 2019, bijih nikel yang diolah menjadi feronikel nilainya naik hingga 10 kali lipat. Nilai nikel kian meroket sampai 19 kali lipat apabila feronikel diolah menjadi stainless steel.

Begitu pula bijih bauksit yang diolah dan dimurnikan menjadi alumina, akan bernilai delapan kali lipat. Alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium akan bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan saat masih berupa bijih bauksit.

Selain itu, hilirisasi bisa mengatasi masalah defisit transaksi berjalan Indonesia. Sayangnya, sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disahkan, kepatuhan terhadap hilirisasi tidak pernah benar-benar ditegakkan.

Imbasnya, banyak perusahaan tambang yang terlambat membangun smelter.

Ekspor bijih nikel saat ini menyumbang sekitar 0,4 persen dari total ekspor dan perkiraan kami nilai ekspor akan berkurang sekitar 65 juta dollar AS setiap bulan (atau setara 0,78 miliar dollar AS per tahun).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com