Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pro Kontra Edhy Prabowo Mau Cabut Larangan Cantrang Era Susi

Kompas.com - 22/01/2020, 10:21 WIB
Muhammad Idris,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tengah menggodok revisi aturan yang melarang cantrang. Ini dilakukan mengakomodir kapal nelayan Pantura agar bisa beroperasi di Natuna Utara.

Alat tangkap yang masuk trawl ini dilarang sejak era Menteri KKP Susi Pudjiastuti lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016.

Dikutip dari Harian Kompas, Rabu (22/1/2020), Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, di Jakarta menyatakan, untuk mendorong kesejahteraan nelayan, hasil tangkapan per kapal harus tinggi.

Hasil tangkapan tinggi hanya dimungkinkan jika ada alat tangkap modern. Kementerian membentuk tim penasihat menteri untuk memperoleh masukan terkait kebijakan yang akan digulirkan.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004 itu, daya dukung atau tangkapan yang diperbolehkan untuk mendukung perikanan lestari berkisar 800.000 ton di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara.

”Pemakaian kapal cantrang di Laut Natuna Utara dihitung maksimum 8 bulan atau sesuai musim tangkapan ikan. Daya penangkapannya berkisar 320 ton per kapal ukuran 60 gros ton. Jadi, sekitar 2.500 kapal bisa masuk,” katanya.

Baca juga: Edhy Prabowo Jadi Cabut Larangan Cantrang Era Susi?

Menurut dia, negara maju tidak pernah melarang total penggunaan pukat harimau atau trawl. Pelarangan cantrang, yang menyerupai trawl dilakukan secara selektif di tempat atau musim tertentu.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Zulficar Mochtar mengatakan, pihaknya sedang melakukan kajian terhadap Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 71/2016.

”Sesuai permintaan pemangku kepentingan, nanti akan ada uji petik yang melibatkan berbagai pihak. Hasil kajian nantinya jadi dasar (revisi peraturan tentang cantrang),” ujarnya.

Pengkajian ulang terhadap peraturan yang melarang pemakaian cantrang merupakan bagian dari revisi terhadap 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan Perikanan.

Revisi mencakup 1 peraturan pemerintah, 23 peraturan menteri, 1 keputusan menteri, 3 keputusan direktur jenderal, dan 1 surat edaran. Dari jumlah itu, 17 aturan di antaranya ada di sektor perikanan tangkap.

Dinilai merusak

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Yudi Nurul Ihsan, mengungkapkan penentuan jumlah ikan yang boleh ditangkap sesuai potensi lestari (MSY) harus dihitung secara ilmiah, termasuk untuk menentukan jenis ikan yang boleh ditangkap dan area penangkapan.

Uji petik larangan cantrang yang dilakukan pemerintah sangat bergantung pada data dan info acuan.

Prinsip keadilan, keseimbangan, ekologi, ekonomi, dan sosial harus diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan.

Baca juga: Kaji Penggunaan Cantrang, Edhy Prabowo Evaluasi 29 Aturan Era Susi

”Jika memungkinkan menggunakan alat tangkap cantrang dan tidak menggangu ekosistem, ya, tidak masalah. Persoalannya, mayoritas cantrang saat ini sudah dimodifikasi menyerupai trawl yang merusak ekosistem,” katanya.

Alat tangkap cantrang yang dimodifikasi menyerupai trawl tidak cocok digunakan di seluruh perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Pukat harimau dan cantrang modifikasi, selain merusak ekosistem juga merusak keragaman hayati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Whats New
Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Whats New
Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Rilis
IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

Whats New
Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Whats New
Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Whats New
Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Harga Naik Selama Ramadhan 2024, Begini Cara Ritel Mendapat Keuntungan

Whats New
Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Mentan Amran Serahkan Rp 54 Triliun untuk Pupuk Bersubsidi, Jadi Catatan Sejarah bagi Indonesia

Whats New
Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Kasus Korupsi PT Timah: Lahan Dikuasai BUMN, tapi Ditambang Swasta Secara Ilegal

Whats New
4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

4 Tips Mengelola THR agar Tak Numpang Lewat

Spend Smart
Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis, Stafsus Erick Thohir: Kasus yang Sudah Sangat Lama...

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com