Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Baja Impor Asal China, Korporasi Dalam Negeri Kelimpungan

Kompas.com - 19/02/2020, 08:31 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjirnya baja impor asal China membuat korporasi dalam negeri kelimpungan. Sebab, spesifikasi baja yang diimpor tersebut bisa diproduksi di dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah importasi baja Hot Rolled Coil/Plate (HRC/P) Paduan (Baja Gulungan/Lembaran Canai Panas Paduan) mencapai 675 ribu ton pada 2019. Volume impor tersebut cukup tinggi padahal 65 persen diantaranya bisa diproduksi oleh produsen baja nasional.

Guna menahan panen baja impor, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PTKS) telah menyampaikan petisi Anti Dumping HRC “Paduan” kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). KADI telah melakukan pra-notifikasi kepada pemerintah China.

Baca juga: Keluhkan Serbuan Baja China, Bos Krakatau Steel Serukan Petisi Anti-dumping

Chairman asosiasi besi dan baja nasional, Silmy Karim mengatakan, pembuatan petisi tersebut merupakan salah satu upaya pengendalian importasi besi dan baja yang masuk ke Indonesia, khususnya dari RRT yang dilakukan dengan cara unfair trade.

“Saat ini banyak negara eksportir melakukan ekspor produk baja dengan cara yang unfair, seperti halnya dumping. Padahal seharusnya baja paduan sesungguhnya/special steel memiliki harga jual yang tinggi karena hanya digunakan oleh industri-industri tertentu," kata Silmy dalam siaran pers, Rabu (19/2/2020).

Sedangkan kata Silmy, baja paduan dari China sebagian besar memiliki spesifikasi yang sama dengan produk HRC karbon biasa yang diproduksi oleh produsen baja dalam negeri.

"Dan saat ini (produsen baja dalam negeri) telah mengalami oversupply," ungkapnya.

Baca juga: Milenial Tak Bisa Menabung? Cek Skema Pengeluaran Ini

Silmy bilang, pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) penting bagi industri baja nasional, mengingat tarif Bea Masuk Most Favoured Nation (MFN) untuk produk-produk baja sebagian besar sudah diturunkan bahkan sampai 0 persen.

Sementara, adanya praktik circumvention dalam importasi produk baja berupa pengalihan pos tarif baja karbon menjadi paduan yang merupakan upaya tidak fair (curang) dari eksportir. Hal ini untuk memperoleh keuntungan terhindarnya dari tarif bea masuk dan diperolehnya export tax rebate.

Selain itu, lanjut Silmy, impor produk baja paduan seperti boron steel untuk penggunaan komersial telah mengganggu kinerja produsen baja nasional.

Baca juga: Mantan Buruh Migran Minta MK Batalkan Gugatan Asosiasi Perusahaan TKI

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, impor baja paduan ini terus tumbuh dari 1,4 juta ton pada tahun 2015 menjadi 3,2 juta ton pada tahun 2019. Kondisi yang terjadi adalah volume impor baja karbon terus menurun yang disubstitusi oleh meningkatnya volume impor baja paduan secara signifikan.

“Kecenderungan setiap negara sekarang adalah proteksionisme. Mereka berupaya memproteksi industri dalam negerinya, bukan membuka bebas akses importasi," jelas Silmy.

Adapun upaya pengenaan BMAD oleh PTKS atas produk baja impor kepada negara asal impor terbesar yaitu China, membutuhkan dukungan penuh dari Pemerintah.

Baca juga: 13 Manager Investasi Terkait Kasus Jiwasraya, Sudah Disanksi OJK?

Beberapa negara lain di dunia pun seperti AS telah mulai mengenakan tarif impor untuk produk baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen. AS juga merupakan negara teraktif dalam menerapkan Trade Remedies (Anti Dumping, Anti Subsidi & Safeguard).

Sementara itu negara - negara lain seperti Uni Eropa dan Turki telah melakukan upaya pengamanan pasar domestiknya dengan melakukan safeguard terhadap impor baja.

"Jadi pengajuan petisi Anti Dumping untuk produk HRC Paduan dari China merupakan yang pertama kali dilakukan oleh industri dalam negeri, maka itu dukungan semua pihak termasuk Pemerintah sangatlah diperlukan sebagai langkah positif perlindungan terhadap industri nasional," pungkas Silmy.

Baca juga: Manajemen Bantah Bayar SPP Bisa Pakai GoPay Karena Faktor Nadiem Makarim

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com