BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Avrist Assurance

Antara Bakti dan Wujudkan Mimpi, Ini Strategi Jadi Generasi Sandwich Andalan

Kompas.com - 16/09/2020, 15:47 WIB
Alek Kurniawan,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Roni Suhendra (35) atau akrab disapa Roni adalah seorang kepala keluarga dengan istri dan dua orang anak. Rumahnya di Jakarta. Selain tinggal bersama keluarga intinya, Roni juga tinggal satu rumah dengan ibu mertua.

Hari-hari Roni tampak sibuk. Memang, selama masa pandemi Covid-19, ia bekerja dari rumah sehingga memiliki waktu yang lebih fleksibel. Namun, waktunya jadi terasa lebih padat dibandingkan sebelum masa pandemi.

Pagi hari sampai menjelang sore, ia bekerja. Di sela-sela menjalani pekerjaannya, ia harus membimbing si buah hati mengerjakan tugas sekolah. Di samping itu, ia bersama istri juga harus merawat sang ibu yang sudah mulai sakit-sakitan.

Selain waktu yang padat setiap hari, Roni punya masalah lain dari segi finansial. Selama pandemi, ia harus rela menerima pemotongan gaji karena perusahaan tempat ia bekerja ikut terdampak pandemi.

Di lain sisi, pengeluarannya tetap sama atau bahkan lebih banyak. Ada pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pengeluaran biaya sekolah, pengobatan sang ibu, dan pengeluaran tak terduga lainnya.

Bila diibaratkan, kondisi Roni saat ini bagaikan olahan daging pada sandwich yang terjepit di antara dua tangkup roti.

Sayangnya, nikmatnya makanan sandwich tidak tergambar dalam keseharian Roni sebagai generasi sandwich, yaitu mereka yang berusia produktif tetapi terjepit di antara dua tugas utama, membesarkan anak dan merawat orangtua.

Mengutip Kompas.id (26/6/2020), istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan pada 1981 oleh Elaine Brody dan Dorothy Miller, dua ahli gerontologi—ilmu sosial yang mempelajari tentang lanjut usia.

Pada masa itu, titel generasi sandwich disandang oleh baby boomers, tetapi seiring berjalannya waktu pada 1990-an hingga 2000-an, titel ini seperti diestafetkan kepada generasi X. Saat ini, titel generasi sandwich perlahan berpindah ke tangan generasi Y.

Kondisi terjepit di antara tanggung jawab merawat dua generasi di dalam keluarga membuat mereka yang masuk kategori generasi sandwich memiliki persoalan terkait kemandirian menjalani hidup.

Selain persoalan finansial, generasi sandwich juga harus membagi perhatian antara keluarga inti, terutama anak dan orangtua atau keluarga besar.

Ilustrasi generasi sandwichDOK. SHUTTERSTOCK Ilustrasi generasi sandwich

Rentan stres

Generasi sandwich kerap mengutamakan kebutuhan orang lain dalam keluarganya sehingga melupakan diri sendiri. Psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana mengungkapkan, kondisi tersebut membuat generasi sandwich lebih rentan terhadap stres.

Penerimaan diri dan keadaan, menurut Vera, menjadi kunci agar generasi sandwich tidak terlarut dalam stres.

“Salah satu cara agar tidak stres adalah menerima keadaan (acceptance) dengan ikhlas bahwa inilah peran yang mereka jalani. Jadi, otak akan rileks dan pikiran jadi lancar mencari jalan keluar,” jelas Vera dalam program K-Talk bertajuk “Antara Bakti dan Wujudkan Mimpi: Strategi Menjadi Generasi Sandwich Andalan” yang diadakan secara virtual, Kamis (11/9/2020).

Selain stres, lanjut Vera, generasi sandwich juga kerap merasa insecure dan menyalahkan dirinya sendiri bila terjadi sesuatu. Rasa insecure, misalnya, biasanya hadir ketika mereka melihat temannya lebih sukses dan menjalani kehidupan dengan nyaman.

“Memang, ini tak terhindarkan karena bagi sebagian orang, sebuah pencapaian dilihat dari segi materi. Namun, ini tidak apple to apple. Sebab, setiap individu berbeda dan pendidikan yang mereka terima juga berbeda. Jadi, solusinya adalah pakai ‘kacamata kuda’. Artinya, fokus pada apa yang ada depan dan tujuan yang ingin dicapai,” tutur Vera.

Sementara untuk menghilangkan rasa bersalah, Vera mengatakan bahwa self-care atau peduli dengan diri sendiri harus diutamakan.

“Salah satu contoh self-care terbaik adalah me-time atau menikmati waktu sendiri sejenak,” ujarnya.

Kemudian, lanjut Vera, jadikan beban sebagai kekuatan. Salah satu caranya adalah selalu menjalin komunikasi dengan anggota keluarga. Lalu, setelah itu maksimalkan semua pendukung.

“Generasi sandwich mostly tidak selalu sendiri. Ada suami dan istri, misalnya, untuk galang kekuatan bersama, saling support, dan jadi teman bicara,” jelas Vera.

Generasi sandwich juga harus realistis. Jadi, sesuaikan keinginan dengan kemampuan. Terakhir, pasang skala prioritas untuk menentukan mana yang harus dipenuhi dan seberapa penting kebutuhan itu. Pandai memilih prioritas, kata Vera, dapat memutus rantai generasi sandwich di masa depan.

Ilustrasi generasi sandwichDOK. SHUTTERSTOCK Ilustrasi generasi sandwich

Mengatur finansial

Skala prioritas pada dasarnya diperlukan untuk pengaturan finansial keluarga. Pengaturan finansial ini jadi salah satu kunci penting.

Setelah generasi sandwich sudah ikhlas menerima, dalam arti mentalnya sudah kuat, langkah berikutnya adalah perencanaan. Salah satu perencanaan yang dimaksud adalah perencanaan keuangan.

Financial Planner PT Avrist Assurance Oti Surendra mengatakan, perencanaan finansial harus memiliki tujuan. Oti mengumpamakan perencanaan finansial layaknya membeli rumah. Tipe rumah yang dibutuhkan, model yang sesuai, dan cara membangunnya harus dipikirkan terlebih dulu.

Saat melakukan perencanaan finansial, pertama-tama harus memperhitungkan biaya apa yang diperlukan di masa kini dan apa yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan finansial.

“Ada dua prioritas yang harus diperhatikan, yakni menikmati kehidupan saat ini dan mempersiapkan masa depan. Masa kini berkaitan dengan biaya sehari-hari, biaya aktualisasi diri, dan biaya darurat. Sedangkan masa depan berhubungan dengan investasi dana pendidikan, dana pensiun, dan dana proteksi,” jelas Oti dalam acara yang sama.

Bila diperhatikan dari penjelasan tersebut, ada dua hal yang mungkin sulit dibedakan oleh sebagian besar orang, yakni biaya darurat dan dana proteksi.

“Biaya darurat adalah biaya yang tak terduga, tapi bisa dipenuhi saat itu juga. Beberapa contoh keperluan biaya darurat adalah biaya kondangan teman yang menikah, biaya membetulkan listrik rumah, pengeluaran untuk menambal ban bocor, dan kebutuhan lain yang bisa diterima,” jelas Oti.

Berbeda dengan dana proteksi, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar. Salah satu contoh dana proteksi adalah asuransi. Fungsi utamanya adalah untuk meminimalisasi biaya pengeluaran kesehatan.

“Dalam kasus generasi sandwich, perencanaan dana proteksi sangat penting keberadaannya. Selain bisa melindungi diri sendiri, dana proteksi berbentuk asuransi juga bisa memproteksi kesehatan keluarganya,” ujar Oti.

Sebagai bagian dari generasi sandwich, ada baiknya asuransi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan. Avrist, salah satu perusahaan asuransi Indonesia, menyadari akan hal ini.

Oleh karena itu, Avrist menyediakan asuransi khusus yang sesuai dengan kebutuhan proteksi generasi sandwich, yakni Avrist Prime Hospital & Surgical. Secara garis besar, asuransi ini membantu meringankan beban biaya kesehatan.

Avrist Prime Hospital & Surgical memiliki fleksibilitas tinggi, komplit, sederhana, dan menyeluruh. Adapun empat keunggulan utama yang bisa didapatkan pemegang polis untuk kebutuhan proteksi kesehatan.

Pertama, mendapatkan kenyamanan privasi kamar di rumah sakit. Kedua, dapat mengikutsertakan semua anggota keluarga untuk mendapatkan jaminan proteksi kesehatan dengan hanya satu polis.

Ketiga, fasilitas pembayaran cashless di seluruh dunia dengan batas manfaat hingga 3 juta dollar AS. Keempat, mendapatkan manfaat layanan medis lokal dan internasional.

Selain empat keunggulan tersebut, Avrist Prime Hospital & Surgical juga mencakup manfaat layanan medis selama 24 jam untuk pengadaan jasa evakuasi darurat, manfaat perlindungan tertanggung yang menetap di luar negeri, dan tidak mengecualikan kondisi pandemi sehingga produk ini akan mencakup pasien yang terjangkit Covid-19.

Untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai Avrist Prime Hospital & Surgical, silakan klik tautan ini.

Asuransi untuk kebutuhan proteksi, menurut Oti, penting dipertimbangkan oleh generasi sandwich sejak dini. Dengan begitu, mereka tak perlu mewariskan beban pada generasi setelahnya.

“Semakin muda, semakin baik. Pertimbangannya adalah premi. Semakin muda, maka semakin ringan premi yang dibayarkan. Selain itu, semakin muda kondisi kesehatan juga semakin terjaga, jadi benefit yang diterima bisa lebih banyak,” ujarnya.

Dengan demikian, secara perlahan dan pasti beban finansial yang dirasakan generasi sandwich di masa depan akan berkurang dan dapat menjalani kehidupan yang aman serta nyaman.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com