Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Omnibus Law dan Wacana 6-7 Persen Pertumbuhan Ekonomi Jokowi

Kompas.com - 05/11/2020, 11:17 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo sempat menargetkan ekonomi nasional bisa tumbuh 6-7 persen sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Reza Yamora Siregar mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 6-7 persen itu ditujukan untuk mengabsorsi tenaga kerja lebih banyak.

Berdasarkan kalkulasi dasar, setiap 1 persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), ada 400.000 tenaga kerja baru yang terabsorsi. Sehingga pertumbuhan ekonomi 5 persen dalam kondisi normal, mampu menyerap 2 juta negara kerja.

Baca juga: Isi Lengkap UU Cipta Kerja Final 1.187 Halaman Bisa Diunduh di Sini

Namun Badan Pusat Statistik (BPS) mengestimasi, ada sekitar 2,5 hingga 3 juta tenaga kerja baru yang perlu terserap setiap tahunnya. Artinya, pertumbuhan ekonomi 5 persen saja tidak cukup. Ekonomi perlu digenjot hingga tumbuh 6-7 persen.

"Menurut saya (pertumbuhan ekonomi) 6-7 persen itu emas. Jadi hanya untuk menjaga lapangan kerja produktif tanpa membengkaknya unemployment rate, kita harus tumbuh 6-7 persen," ucap Reza dalam Seminar Transformasi Ekonomi Universitas Islam Bandung secara virtual, Kamis (5/11/2020).

Untuk menciptakan lapangan kerja yang cukup, dibutuhkan investasi besar. Sebab menurut Reza, konsumsi domestik yang menopang PDB nasional tidak cukup.

Sedangkan ada "penyakit" tipikal negara berkembang dalam kinerja ekspor-impor. Biasanya, kenaikan ekspor juga diiringan dengan kenaikan impor. Hal ini membuat selisih neraca perdagangan sangat tipis kontribusinya terhadap PDB.

Untuk itu kata dia, harapan yang paling besar jatuh kepada investasi.

"Kita harus dorong sektor yang lain. Jadi kalau kita selama ini ada persepsi kita tidak memikirkan tenaga kerja, thats not true. Karena untuk absorsi tenaga kerja investasi harus ada," ungkap Reza.

Baca juga: Saat Sri Mulyani Pamer Pujian Lembaga Internasional soal UU Cipta Kerja

Kenapa harus pakai UU Cipta Kerja?

Reza menilai, UU Cipta Kerja mempermudah perizinan berusaha yang dijadikan satu pintu, hanya di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Selain adanya pandemi Covid-19 yang perlu diatasi, kondisi dan struktur ekonomi sudah berubah. Pada tahun 2019, ada 170 juta masyarakat yang mendapat akses internet. Angkanya sudah jauh lebih tinggi dibanding tahun 2000 yang hanya diakses oleh 2 juta orang.

"Pekerjaan yang tadinya standar akan hilang dan berubah bentuk. Jadi ada masalah di umployment rate, kondisi ekonomi yang berubah, Covid-19, dan kondisi kapabilitas manusia," tuturnya.

Menurut dia, mengubah aturan hukum hanya dalam satu Undang-Undang (UU) tidaklah cukup, karena ada tumpang tindih aturan. Jika hanya merevisi satu UU, ada UU di sektor lain yang masih berkaitan, yang tetap tumpang tindih.

"Tumpang tindih ini enggak selesai. Tumpang tindih enggak bisa membetulkan satu aspek dari satu UU yang ada. Ini yang kita coba dengan omnibus ini," pungkas Reza.

Baca juga: Omnibus Law, Birokrasi, Demokrasi, dan Penerbangan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com