Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunarsip
Ekonom

Ekonom Senior di The Indonesia Economic Intelligence. Pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi VII dan XI di DPR RI (2015-2017) dan Analis Fiskal di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI (2004-2008).

Politik Kelistrikan, Kebijakan Fiskal dan Tarif Listrik

Kompas.com - 23/11/2020, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mungkinkah tarif listrik naik di tahun depan? Jawabannya: bisa naik, bisa juga tidak naik. Kalau misalnya, tarif listrik naik di tahun depan, apakah kenaikan tersebut disebabkan oleh kebijakan swastanisasi sektor kelistrikan kita?

Atau, apakah kenaikan tarif listrik tersebut disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang melepas tarif listrik sesuai harga pasar? Kemudian kalau misalnya tarif listrik tidak naik di tahun depan: lalu apa kira-kira penyebabnya?

Baca juga: Sudah Diserahkan ke Jokowi, Ini Kisi-kisi Perpres Harga Listrik EBT

 

Lalu, bagaimana sebenarnya peluang terjadinya kenaikan tarif listrik pada tahun depan? Naik atau tidak?

Melalui tulisan ini, saya akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sekaligus saya akan menguraikan bagaimana kedudukan sektor kelistrikan kita dengan kebijakan fiskal.

Pertama sekali, saya akan menjawab pertanyaan terkait dengan kemungkinan tarif listrik naik atau tidak naik di tahun depan (2021). Perlu diketahui bahwa sejak tahun 2015, PLN sebenarnya tarif listrik tidak mengalami kenaikan.

Data memberlihatkan bahwa tarif listrik saat ini, masih lebih rendah dibanding tarif listrik di tahun 2015.

Meskipun harga energi primer (terutama batubara) sempat melonjak pada tahun 2017-2018, pemerintah menghendaki agar PLN tidak menaikan tarif listriknya dalam rangka menjaga daya beli masyarakat yang saat itu sedang turun akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak 2017.

PLN harus menanggung kenaikan biaya produksi, sementara pendapatan penjualan listrik dari pelanggan tidak bertambah karena tarif listrik tidak dinaikan. Konsekuensinya, tekanan terhadap posisi keuangan PLN meningkat.

Teorinya, bila tarif listrik tidak naik, sementara biaya pengadaan tenaga listrik (BPP) meningkat, pemerintah akan menambah besaran subsidi bagi PLN.

Namun, selama ini subsidi hanya diberikan kepada PLN untuk meng-cover pelanggan listrik bersubdisi. Sedangkan bagi pelanggan non-subsidi tidak dikenal subsidi. Padahal, mereka (pelanggan non-subsidi) juga menikmati tarif rendah akibat tarif listrik yang tidak dinaikan.

Sehubungan dengan ini, sejak tahun 2017 diciptakanlah mekanisme “dana kompensasi” bagi PLN sebagai “ganti rugi” kepada PLN karena kehilangan potensi pendapatan tenaga listrik yang wajar dari pelanggan non-subsidi.

Tahun ini, semestinya PLN menerima dari pemerintah sebesar Rp48,9 triliun dana kompensasi yang seharusnya diterima pada tahun 2018 dan 2019.

Pada tahun 2020 ini, pemerintah dan PLN tidak hanya tidak menaikan tarif listrik tetapi juga memberikan keringanan atau potongan harga terhadap sejumlah pelanggan, baik pelanggan bersubsidi maupun pelanggan non-subsidi.

Baca juga: Indonesia Peringkat ke-33 Negara dengan Kemudahan Akses Listrik, di Bawah Malaysia hingga Vietnam

 

Bisa dibayangkan bagaimana tekanan terhadap posisi keuangan PLN selama tahun 2020 ini, selama pandemi Covid-19. Tarif listrik tidak naik bahkan diberlakukan diskon, di sisi lain penjualan listrik juga turun akibat turunnya konsumsi listrik terutama dari pelanggan industri dan komersial.

PLN Sudah "Puasa"

Nah, dengan perkembangan seperti ini, kalaupun pada tahun depan PLN menaikan tarif listrik sebenarnya memiliki alasan yang masuk akal. PLN sudah “puasa” tidak menaikan tarif listrik sekitar 5 tahun, ditambah tahun ini menanggung diskon harga dan penurunan penjualan.

PLN pasti membutuhkan pemulihan pendapatannya (revenue) untuk mengurangi tekanan terhadap posisi keuangannya. Namun demikian, apakah PLN akan menaikkan tarif listrik pada tahun 2021?

Saya memiliki proyeksi, tahun depan pemerintah masih tidak akan mengizinkan PLN untuk menaikkan tarif listriknya. Kenapa demikian?

Saat ini, perekonomian kita sedang dalam kondisi resesi dan baru mulai merangkak untuk pulih. Peran kelistrikan sangat penting sebagai stimulator untuk memulihkan ekonomi, khususnya industri dan bisnis.

Sektor-sektor ekonomi baru mulai merangkak sehingga masih membutuhkan ruang untuk “bernafas” setelah selama setahun ini mengalami “paceklik” karena tidak beroperasi akibat pandemi.

Dan saya kira, pemulihan ekonomi akan menjadi sasaran utama pemerintah di tahun 2021 sehingga kemungkinan besar, setiap kebijakan yang dapat menghambat percepatan pemulihan ekonomi tidak akan diambil. Termasuk diantaranya kemungkinan besar pemerintah masih mempertahankan tarif listrik rendah dan tarif listrik diperkirakan tidak akan naik di tahun depan (2021).

Swastanisasi Vs Tarif Listrik

Di atas, saya menyebut istilah “swastanisasi” dan hubungannya dengan tarif listrik. Apakah memang ada hubungannya antara keterlibatan swasta (swastanisasi) dengan naik turunnya tarif listrik?

Undang-undang Ketenagalistrikan (UU No. 30/2009) memang memberikan kesempatan kepada korporasi (swasta, BUMN, dan BUMD) untuk terlibat sebagai pelaku di sektor kelistrikan.

Pemerintah pun mendorong swasta agar turut terlibat dalam usaha penyediaan tenaga listrik terutama di bisnis pembangkitan (power plant).

Baca juga: PLN Akan Ubah 5.200 PLTD Jadi Pembangkit Listrik EBT

Statistik kelistrikan juga mencatat bahwa peran swasta dalam penyediaan ketenagalistrikan mengalami peningkatan.

Data statistik menyebutkan, pangsa tenaga listrik yang dibeli PLN dari independent power producer (IPP) pada 2018 mencapai 29,35 persen atau meningkat hampir dua kali lipat dibanding posisi tahun 2002 yang baru mencapai 17,60 persen.

Keterlibatan IPP yang meningkat ini terutama disebabkan karena keterbatasan pendanaan PLN, sehingga diperlukan keterlibatan investasi swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk menutupi defisit tenaga listrik yang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan rasio kelistrikan.

Yang patut dicatat bahwa keterlibatan swasta dalam penyediaan tenaga listrik dapat dikatakan masih terbatas sebagai pendukung (supporting). Ini mengingat, UU No.30/2009 mengatur bahwa penyediaan tenaga listrik dikuasai negara dan penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 3).

Sedangkan pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh BUMN, BUMD, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat (Pasal 4).

Namun demikian, meskipun swasta dapat terlibat dalam penyediaan tenaga listrik, BUMN tetap diberi prioritas pertama dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (Pasal 11).

Di banyak negara berkembang, pemerintahnya masih memegang kendali regulasi sektor kelistrikannya, termasuk soal tarif listrik. Termasuk di Indonesia pun, rezim politik kelistrikannya masih menempatkan pemerintah sebagai pengendali penuh sektor kelistrikan nasional, mulai dari hulu hingga hilirnya, termasuk penetapan tarifnya.

Undang-undang Ketenagalistrikan kita menyebutkan bahwa kebijakan penetapan tarif listrik tetap dipegang pemerintah. Pemerintah menetapkan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen (Pasal 5).

Dengan kata lain, meskipun keterlibatan swasta dalam pelaksanaan penyediaan tenaga listrik terus didorong dan terus meningkat, namun hal itu tidak serta merta menggantikan peran BUMN (dalam hal ini PLN), termasuk juga tidak akan mengurangi kendali pemerintah soal penetapan tarif listrik.

Sehingga, terlalu berspekulasi bahwa swastanisasi kemudian akan mendorong terjadinya liberalisasi tarif. Karena faktanya, UU Kelistrikan kita masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk menetapkan besaran tarif listrik.

Swastanisasi Vs Subsidi

Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa swastanisasi akan mendorong kenaikan tarif listrik. Pandangan ini mengatakan bahwa kenaikan tarif listrik akibat beban subsidi listrik yang besar sehingga tidak dapat ditanggung pemerintah (APBN). Karena APBN tak sanggup menanggung beban subsidi, maka beban tersebut dialihkan (pass through) menjadi beban PLN.

Dan karena PLN tak sanggup menanggung beban subsidi tersebut, maka PLN akan mengalihkannya ke konsumen melalui kenaikan tarif listrik. Pandangan ini masuk akal. Namun, bila dikembalikan kepada UU Kelistrikan, pandangan ini tertolak dengan sendirinya, karena kebijakan tarif listrik tetap diatur pemerintah.

Pada tahun 2014, memang telah ada kesepakatan tentang berlakunya Automatic Tarif Adjustment (ATA) antara pemerintah dan DPR. Pemberlakuan ATA ini diterapkan bagi pelanggan non-subsidi, sedangkan pelanggan bersubsidi tidak berlaku.

Karena pelanggan bersubsidi (kurang mampu) tidak diberlakukan ATA, dengan sendirinya tarifnya ditetapkan pemerintah. Dan bila tarif listrik ke pelanggan bersubsidi ternyata di bawah BPP maka pemerintah akan memberikan subsidi kepada PLN. Dengan demikian, pandangan bahwa pemerintah akan menghentikan subsidi dipastikan tidak akan terjadi selama masih ada pelanggan bersubsidi.

Dengan penerapan ATA ini maka penyesuaian tarif tenaga listrik dilakukan setiap bulan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik, yaitu: (i) nilai tukar mata uang Dollar Amerika terhadap mata uang Rupiah (kurs), (ii) harga minyak mentah ICP dan (iii) inflasi.

Pemberlakuan ATA ini antara lain didasari oleh fakta bahwa biaya penyedian tenaga listrik seperti bahan bakar, beban keuangan dan lain-lain dipengaruhi oleh perubahan kurs, ICP dan inflasi yang menyebabkan BPP dapat berubah setiap saat.

Pertanyaannya: apakah kemudian, dengan pemberlakuan ATA ini, ketika harga-harga yang membentuk BPP mengalami kenaikan lantas tarif listrik juga akan naik?

Jawabannya: ternyata tidak. Faktanya, dengan pertimbangan bahwa untuk menjaga daya beli masyarakat, sejak tahun 2017 hingga sekarang, pemerintah memutuskan tidak memberlakukan ATA.

Meskipun, ATA merupakan kewenangan PLN, pemerintah tetap menggunakan “vetonya” untuk membatalkan pemberlakuan ATA. Sebagai konsekuensinya, pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk memberikan “dana kompensasi”, sebagaimana yang telah saya jelaskan di awal tulisan ini. Dana kompensasi tersebut diberikan bertujuan demi menjaga keberlangsungan usaha PLN.

Baca juga: Menteri ESDM Minta PLN Pangkas Biaya Penyediaan Listrik

Saya memiliki keyakinan bahwa pemerintah tidak akan membebani masyarakatnya dengan, misalnya, memberlakukan tarif listrik yang tinggi, di saat masyarakat (termasuk pelaku usaha) masih mengalami tekanan akibat krisis pandemi Covid-19.

Pemerintah tentunya telah belajar dari pengalaman krisis ekonomi di tahun 1998, dimana ketika itu di tengah krisis pemerintah justru menaikan harga BBM hingga lebih dari 150 persen, karena mengikuti saran IMF agar mencabut subsidi.

Akibatnya, saat itu krisis ekonomi justru meledak dengan derajat krisis yang sangat parah disertai dengan inflasi yang sangat tinggi, lebih dari 70 persen. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa swastanisasi akan menyebabkan tarif listrik naik berlipat dan subsidi dihapus cenderung hanya spekulatif.

Dan saya juga memiliki keyakinan bahwa pemerintah (dengan dukungan DPR) tetap berkomitmen untuk menjaga kelangsungan usaha PLN. Pemerintah dan DPR pastinya tidak akan membiarkan PLN dalam kondisi tertekan secara keuangan, karena hal itu akan menghambat upaya negara untuk mewujudkan pemerataan sektor kelistrikan secara nasional.

Dengan kata lain, saya memiliki keyakinan bahwa pemerintah pun akan memenuhi komitmennya untuk membayarkan subsidi dan dana kompensasi sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com