Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menristek Sebut Obat Modern Asli Indonesia Jarang Digunakan Dokter untuk Pasien

Kompas.com - 21/12/2020, 22:07 WIB
Ade Miranti Karunia,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, belum berkembangnya Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) disebabkan dua hal, yakni permintaannya yang masih minim dan belum percayanya dokter terhadap obat serta alat kesehatan buatan dalam negeri.

"Tidak kalah kritikalnya, saya pernah sampaikan langsung ke Dekan FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada waktu acara ulang tahun FKUI, seberapa hebatnya alat kesehatan dan obat yang kita buat di Indonesia, kalau pemakai utamanya yaitu dokter enggak mau pakai, ya selesai," kata Bambang dalam tayangan Dialog Nasional Kompas TV dengan tema Efek Covid-19, Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan," Senin (21/12/2020).

Baca juga: Meristek: Pemanfaatan OMAI Bisa Kurangi Beban Neraca Perdagangan RI

Bambang mengakui, biaya uji riset atau uji klinis agar obat dengan bahan baku dalam negeri tersebut mencapai standarisasi sangatlah mahal serta melalui tahapan dan memakan waktu yang lama.

Pada akhirnya, para dokter di Indonesia tetap lebih memilih untuk memberikan resep kepada pasien atau mengonsumsi obat-obatan dengan bahan baku impor.

"Karena, percuma bikin OMAI ya katakan paling manjur, sudah terbukti, sudah melalui uji klinis yang memang melelahkan dan mahal, tapi kemudian dokternya enggak mau bikin resep. Bukan karena takut, tapi dia, ya mohon maaf karena dokter sudah komit dengan perusahaan farmasi tertentu," ungkap Bambang.

"Jadi ya mohon maaf, itu bukan OMAI ya, tetapi obat impor bahan baku kimia," lanjut dia..

Dari sisi permintaan, OMAI disarankan masuk di dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Baca juga: Sosok 3 Penjual Obat Paling Tajir di Indonesia

 

Sebab, tanpa masuknya OMAI dalam JKN, maka obat buatan dalam negeri tidak akan ada peminat untuk membelinya.

"Riset dan pengembangan itu mengenai OMAI akan berkembang kalau jelas demand-nya ada. Demand ini bisa muncul kalau (OMAI) masuk JKN. Bagaimanapun mau tidak mau, suka tidak suka, JKN itulah fokus dari penanganan kesehatan di Indonesia saat ini. Karena kan kita menganutnya seperti konsep secara universal of care," ucap Bambang.

Pada kesempatan itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, persoalan usulan masuknya OMAI atau Fitofarmaka ke JKN memang diakui jadi perdebatan dari pihak kedokteran dengan industri farmasi.

"Fitofarmaka kalau ini sudah keluar hasilnya mereka sebenarnya bisa bercompete dengan obat-obatan berbahan sintesis kimia. Ini yang kita dorong. Memang masih ada keruwetan-keruwetan di sana sini. Contohnya, ini kayak telor sama ayam akhirnya. Waktu kita ajak diskusi, ini masuk ke JKN, mereka bilangnya coba disosialisasikan dulu ke dokter-dokternya," ungkap Seto.

"Karena, buat apa dimasukin, tetapi yang pakai ternyata enggak ada. Tapi dari sisi industri, kami melihatnya "ya dimasukin saja dulu ke JKN, enggak ada salahnya, habis itu kita akan fight dan ber-compete dengan obat-obatan sintesis lainnya," sambung dia.

Baca juga: Sejarah Betadine, Bermula dari Eks Kopassus yang Berjualan Obat Merah

Sementara, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menurut Seto, menyarankan agar obat-obat berbahan baku herbal tersebut masuk dalam program JKN.

"Minggu lalu, saya sudah laporkan ke Pak Menko (Marves) mengenai permasalahan ini. Pak Menko memberikan arahan, ini didorong saja dulu untuk masuk (JKN). Nanti diberikan kesempatan produsen-produsen Fitofarmaka untuk masuk ke dalam JKN. Lalu, mereka yang fight sendiri nanti untuk marketing obatnya ini kepada dokter-dokter atau rumah sakit," ucap Seto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com