Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Mengawal Hak Kompensasi Keluarga Penumpang Sriwijaya Air SJ 182

Kompas.com - 14/01/2021, 18:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUKA kembali menyelimuti dunia penerbangan nasional. Kali ini penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 bertolak dari Jakarta menuju Pontianak berakhir tragis di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021). Penerbangan SJ 182 mengangkut 56 penumpang dan 6 kru pesawat sebagaimana termuat dalam manifes.

Hingga Rabu siang (13/1/2021) segenap personil gabungan dibawah komando Badan SAR Nasional (Basarnas) tengah berjuang mencari yang tersisa, terutama cockpit voice recorder (CVR) guna memperoleh titik terang penyebab kecelakaan Penerbangan SJ 182. Sebelumnya flight data recorder (FDR) telah ditemukan pada Selasa (12/1/2021).

Semua pihak perlu menahan diri agar tidak berspekulasi. Biarkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menjalankan tugasnya, seperti pada kasus AirAsia QZ 8501 dan Lion Air JT 610 terdahulu, dalam mengungkap penyebab kecelakaan.

Sejak Minggu (10/1/2021), keluarga korban mulai mengurus perihal antemorfem sebagai bagian dari Disaster Victim Identification (DVI) di RS Polri. Data ini penting guna mengidentifikasi korban ditemukan dan kemudian menjadi landasan perihal pencairan asuransi.

Tanpa bermaksud mendahului hasil, terdapat satu hal penting yang perlu dikawal secara paralel, yakni hak kompensasi bagi keluarga korban. Seyogianya Pemerintah hadir membela melalui keberpihakan dan memberikan jaminan transparansi proses dalam industri yang dikenal highly regulated. Instruksi Presiden Jokowi sangat jelas menunjukkan keberpihakan ini.

Baca juga: Identitas Korban Sriwijaya Air Berbeda, Bisakah Klaim BPJS Ketenagakerjaan Cair?

Status penumpang sebagai pihak terlemah mendorong rezim undang-undang penerbangan di dunia berupaya melindungi penumpang atau ahli warisnya semaksimal mungkin melalui kewajiban pemberian kompensasi pada setiap kecelakaan pesawat. Hal ini berlaku baik dalam konvensi internasional maupun hukum nasional Indonesia.

Pada rezim hukum penerbangan nasional – dalam konteks ini rute domestik, tanggung jawab tahap pertama (tier one) maskapai penerbangan ialah sejumlah 1,25 miliar Rupiah sebagaimana diatur Peraturan Menteri Perhubungan No. 77/2011. Nominal ini, tidak kurang tidak lebih, wajib diberikan kepada ahli waris tanpa memandang usia, jenis kelamin maupun pekerjaan korban.

Jaring pengaman ini bertujuan guna memastikan keluarga yang ditinggalkan dapat tetap hidup layak, terutama jika korban merupakan tulang punggung keluarga (breadwinner). Namun, tidak dipungkiri besaran tersebut berpotensi kurang bagi ahli waris seandainya korban berpenghasilan tinggi.

Nominal sejumlah tersebut perlu diberikan secara utuh oleh maskapai penerbangan kepada keluarga korban dengan memperhatikan ketentuan Pasal 165 ayat (2) Undang-Undang No. 1/2009 tentang Penerbangan. Berarti, santunan Jasa Raharja maupun BPJS Ketenagakerjaan tidak menjadi nominal pengurang.

Logikanya tidak akan ada masalah dengan pembayaran kompensasi mengingat Permenhub No. 77/2011 mewajibkan setiap maskapai penerbangan nasional mengasuransikan nominal 1,25 miliar Rupiah per-penumpang. Sriwijaya Air hanya perlu mengklaim asuransi agar pemberian kompensasi dapat segera berjalan.

Rezim hukum domestik sehubungan pertanggungjawaban (liability) maskapai penerbangan terhadap penumpang memang mengikuti konsep Montreal Convention 1999. Namun, tidak semua ketentuan dibawa. Satu hal yang tidak diikutsertakan kedalam Permenhub No. 77/2011 ialah kewajiban pembayaran di muka atau lebih awal (advance payment).

Salah satu landasan skema advance payment ialah biaya pemakaman pada beberapa negara yang tergolong tinggi. Selain itu, skema ini dapat membantu keluarga korban membiayai kepentingan pribadi rutin dimana kehilangan pemasukan tiba-tiba sangat berdampak.

Sebagai contoh, jika korban memiliki dua anak yang masih bersekolah, pembayaran lebih awal dapat menjamin mereka tetap mampu melanjutkan pendidikan. Begitupula dengan cicilan rumah, utang, dan sebagainya yang merupakan urusan pribadi. Kemudian jika keluarga korban mengalami gangguan psikis dan membutuhkan trauma healing atau bahkan berhenti bekerja karenanya, maka advance payment hadir untuk memenuhi kebutuhan ini.

Hal yang dapat dilakukan Pemerintah ialah mempercepat pencairan santunan BPJS Ketenagakerjaan dan Jasa Raharja.

Keduanya berpotensi mengisi kekosongan advance payment jika cepat diberikan - bahkan kalau bisa segera dengan hanya mengandalkan manifes penumpang tanpa menunggu hasil DVI. Urgensi ini lebih terasa mengingat imbas pandemi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com