Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Valent Hartadi

Pendiri Komunitas RT/RW Network Indonesia & Ketua Umum Organisasi RT dan RW Indonesia (ORRI).

Benarkah Fungsi RT/RW Cuma Perkara Adminduk?

Kompas.com - 14/04/2021, 05:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENYEBUT rukun tetangga atau rukun warga (RT/RW) sebenarnya sama saja membicarakan kehidupan sehari-hari sebagian besar warga Indonesia di seputar wilayah pemukiman.

Kalau pun seseorang tidak aktif di komunitas lingkungan, minimal sebelum masuk rumah mesti melewati mulut gang atau gerbang yang dikelola RT/RW.

Terdapat sejumlah kecil komunitas saja dibanding keseluruhan populasi, yakni masyarakat adat dan warga yang tinggal di sebagian hunian vertikal (apartartemen dan sejenisnya), yang tidak memiliki RT/RW.

Namun saking lekatnya dengan istilah RT/RW, sebagian warga menganggap keberadaan RT/RW sudah take it for granted, sudah dari sono-nya ada. Padahal RT/RW diformat dan diorganisasikan.

Ada mekanisme pembentukannya yang melibatkan warga dan diakui pemerintah. Ada orang-orang atau SDM setempat yang mengisinya dan punya tugas pokok organisasi (tupoksi).

Tanpa ada warga yang mau secara sukarela dipilih menjadi ketua atau pengurus RT/RW, ya tentu tidak akan pernah ada organisasi ini. Tetapi benarkah fungsi RT/RW dalam praktik cuma perkara teknis administrasi kependudukan (adminduk) semata, sehingga –katakanlah-- tidak perlu ada?

Baca juga: BPS: Warga RI Sudah Sangat Anti-korupsi, tetapi Beri Fasilitas ke RT/RW Dianggap Wajar

Selayang pandang sejarah RT/RW

Menilik sejarahnya, organisasi RT/RW berasal dari peninggalan Jepang yang dulu bernama Tonarigumi (RT) dan Chokai (RW).

Rohmat Kurnia dalam Buku Panduan RT dan RW (2019) menulis, Tonarigumi pertama kali diperkenalkan oleh Jepang pada tahun 1944 di pulau Jawa, yang dilanjutkan ke luar Jawa.

Setelah Jepang kalah dalam PD II dan meninggalkan Indonesia, sistem Tonarigumi tetap dipertahankan di Indonesia mengingat kepentingan dan manfaatnya. Namun, kegiatannya diubah dan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan.

Program Tonarigumi yang semula melakukan latihan militer, membentuk milisi sipil, dan melakukan pengawasan terhadap kedatangan musuh, semua dihapuskan. Namun kegiatan rapat tiap bulan masih berlangsung.

Dari situlah istilah Tonarigumi diubah menjadi Rukun Tetangga (RT), dan Chokai diganti menjadi Rukun Warga (RW).

Berbeda dengan Tonarigumi yang dibentuk paksa dengan tujuan agar bisa diawasi dan dikontrol secara penuh oleh pemerintah Jepang, penyelenggaraan RT/RW bersifat sukarela dan merujuk pada gotong royong dalam kebersamaan, kekeluargaan dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara.

Meskipun peran RT/RW “hanya” sebatas mitra pemerintah, tetapi bentuknya sebagai lembaga resmi diakui dan diatur oleh Negara (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007) sebagai bagian dari lembaga kemasyarakatan.

Baca juga: Pendamping Desa Kini Terdaftar sebagai Peserta BP Jamsostek

Ketua RT/RW makin berperan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com