Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imbal Hasil US Treasury Diproyeksikan Akan Bergerak Naik Terbatas, Mengapa ?

Kompas.com - 17/04/2021, 09:52 WIB
Kiki Safitri,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan imbal hasil US Treasury saat ini mencerminkan ekspektasi pasar yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, kenaikan imbal hasil obligasi AS dinilai akan berdampak pada lonjakan inflasi.

Menurut Senior Portfolio Manager-Equity Manulife Asset Management Indonesia (MAMI), Samuel Kesuma, ancaman lonjakan inflasi dapat terjadi berkepanjangan di Amerika Serikat yang akan memaksa The Fed untuk mengetatkan kebijakan moneter tidak terlihat.

Baca juga: Yield Treasury AS Diprediksi Sentuh 1,9 Persen, Bagaimana Dampaknya ke Emas dan Rupiah?

Fed Chairman Jerome Powell dalam beberapa kesempatan mengutarakan bahwa lonjakan inflasi bersifat sementara dan The Fed masih berkomitmen untuk menjaga kebijakan moneter akomodatif ke depannya.

“Ekonomi Amerika Serikat masih dalam tahap pemulihan dan tingkat pengangguran masih relatif tinggi pada level 6 persen, jauh dari level 3,5 persen sebelum pandemi, sehingga tekanan inflasi masih relatif lemah walau ada stimulus fiskal,” ungkap Samuel dalam siaran pers, Jumat (17/4/2021).

Samuel menilai, ke depannya imbal hasil UST masih dapat bergerak naik seiring dengan ekonomi Amerika Serikat yang membaik.

“Namun kami memandang kenaikannya akan lebih terbatas dan gradual karena beberapa faktor, seperti wacana kenaikan pajak yang akan diajukan pemerintahan Joe Biden, dan laju pemulihan yang cenderung lebih lambat dari ekspektasi seiring dengan risiko ‘third wave’ Covid-19 di beberapa kawasan,” ungkap Samuel.

Baca juga: Ini Seri dan Imbal Hasil Lelang Sukuk Negara Pekan Depan

Selain itu, potensi meningkatnya pembelian UST oleh investor global seiring dengan imbal hasil UST yang telah naik ke level atraktif, juga dinilai akan membuat pergerakan imbal hasil obligasi AS bergerak lebih terbatas.

Kenaikan imbal hasil UST yang lebih gradual akan mengurangi kekhawatiran pasar dan dapat mengembalikan sentimen investor global.

Tingkat imbal hasil UST saat ini yang di kisaran 1,7 persen, setelah sebelumnya masih relatif rendah.

Dalam 10 tahun ke belakang, rata-rata imbal hasil UST di kisaran 2 persen, sehingga level UST saat ini masih pada level yang wajar dan tetap suportif bagi pasar finansial.

Samuel belum melihat risiko taper tantrum seperti di 2013.

Baca juga: Imbal Hasil Treasury AS Naik, Saham-saham Sektor Apa yang Layak Dikoleksi?

Namun, apabila tapering terjadi, kondisi makroekonomi Indonesia saat ini dalam posisi lebih baik dibandingkan 2013 sehingga dapat lebih resilien dalam menghadapi guncangan yang ada.

“Saat ini kami belum melihat risiko The Fed melakukan tapering (pengurangan program pembelian aset) karena komunikasi dari The Fed yang tetap akomodatif dan kondisi ekonomi Amerika yang masih dalam pemulihan,” jelas dia.

Defisit transaksi berjalan di 2020 hanya 0,5 persen dari PDB, lebih rendah dari 3,2 persen di tahun 2013.

Selain itu, ekspor Indonesia juga saat ini sedang dalam tren pertumbuhan didukung ekspor kelapa sawit dan baja yang tumbuh signifikan, berlawanan dengan 2013 di mana kinerja ekspor menurun karena harga batubara yang melemah.

Samuel menilai, berbagai metrik lain seperti inflasi, cadangan devisa, kepemilikan asing di pasar obligasi, dan sovereign rating Indonesia saat ini juga lebih baik dibanding 2013.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com