Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kementerian Luar Negeri sedang menggagas pemberlakuan program travel bubble atau travel corridor arrangement.
Travel bubble secara garis besar adalah pembukaan hubungan antar dua negara yang sudah dapat mengontrol pandemi covid-19 di negaranya masing-masing.
Dua negara tersebut akan menciptakan gelembung atau koridor perjalanan yang aman dan sehat, yang akan memudahkan masyarakatnya saling berkunjung dengan meminimalisir kerumitan-kerumitan yang timbul dalam proses kunjungan tersebut.
Jadi titik beratnya tetap pada menjaga kesehatan masyarakat dua negara dari paparan Covid-19, namun juga membebaskan warga dua negara tersebut untuk saling berkunjung pada koridor-koridor tertentu dengan meminimalisir kerumitan-kerumitan yang tidak perlu.
Baca juga: INACA Prediksi Industri Penerbangan Mulai Pulih pada 2022
Travel bubble sudah dilakukan di beberapa negara seperti misalnya Australia dan Selandia Baru, serta negara Estonia, Latvia, dan Lithuania yang juga berencana melakukannya.
Menurut Menteri Parekraf Sandiaga Uno, Indonesia sedang menjajaki travel bubble dengan empat negara yaitu Belanda, China, Uni Emirat Arab (UEA) dan Singapura.
Rencananya program ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2021 dengan destinasi di Indonesia yang dipilih adalah Pulau Bali.
Program ini tentunya patut didukung, karena dalam suasana pandemi yang memporak-porandakan hampir semua segi kehidupan seperti sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat global (termasuk Indonesia), masyarakat tetap harus diberdayakan.
Salah satunya dengan mulai menggerakkan sektor-sektor perekonomian walaupun terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa penanganan pandemi covid 19 dan kehidupan perekonomian masyarakat harus dilaksanakan selaras dengan memakai perumpamaan “gas dan rem”.
Sejalan dengan hal tersebut, semua stakeholder yang terkait tentunya harus dipersiapkan dengan cermat seperti. Misalnya stakeholder pariwisata dari Kementerian Parekraf, stakeholder hubungan bilateral dari Kementerian Luar Negeri, stakeholder migrasi dari Kementerian Hukum dan HAM.
Lainnya, stakeholder kesehatan dari Kementerian Kesehatan, stakeholder transportasi dari Kementerian Perhubungan, stakeholder di bawah pemerintah daerah dan stakeholder lain yang mungkin terkait.
Menurut hemat saya, koordinasi dan sinkronisasi sistem dari masing-masing stakeholder tersebut harus disiapkan sejak dini sehingga pada saat travel bubble diimplementasikan, dapat berjalan dengan sukses sesuai dengan tujuan yang telah dicanangkan.
Baca juga: Pariwisata Masih Lesu, Kunjungan Wisatawan Asing Merosot 89,5 Persen
Yang tidak kalah pentingnya, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) para stakeholder harus diperjelas dan diperkuat sehingga ketika dalam operasional nanti masing-masing stakeholder bisa berjalan selaras dan saling mendukung sesuai tanggung jawab masing-masing mulai dari hulu sampai hilir.
Semua harus dilakukan dengan cermat, terencana dan terukur karena hal ini terkait hubungan baik antar dua negara.