JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menanggapi terkait wacana pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok hingga pendidikan.
Ia menjelaskan, di dalam draf rancangan undang-undang (RUU) tentang tata cara perpajakan, tertulis bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari obyek PPN.
"Di sisi lain, bicara tarif pajak, lalu dicantolkan, seolah-olah karena dihapuskan maka akan dikenai PPN 12 persen gitu. Justru saat ini pemerintah, mendesain satu RUU yang cukup komprehensif, isinya itu ada tentang pajak karbon, penangkalan penghindaran pajak yang sangat masif," ujar Yustinus secara virtual, Sabtu (12/6/2021).
Baca juga: Kerap Dibenturkan, Ini Bedanya PPN Sembako dengan Insentif PPnBM
Ia pun mencontohkan, barang bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.
"Kalau beli beras premium satu kilo Rp 50.000 itu tidak kena PPN. Misalnya membeli beras di pasar tradisional, sekilo Rp 10.000 itu tidak kena PPN. Misal membeli daging di supermarket, sama juga ketika saya membeli ayam potong di pasar tradisional," imbuh dia.
Dengan contoh tersebut yang ia sampaikan, maka sembako tidak langsung dikenai pajak.
"Jadi, apa yang menjadi obyek PPN ini tidak serta-merta akan dikenai PPN. Kok bisa? Kalau kita eksplore itu pajaknya nol persen. Misal, senjata yang dipakai oleh TNI/Polri itu seharusnya barang kena pajak, karena sifatnya strategis jadi tidak dikenai pajak," ucap Yustinus.
Pemerintah berencana untuk mengenakan tarif PPN untuk kebutuhan pokok atau sembako.
Baca juga: PPN Sembako Diperkirakan Baru Berlaku Saat Pandemi Covid-19 Usai
Wacana tersebut tertuang dalam draf revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Di dalam draf revisi tersebut, sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam memperkirakan penerapan PPN sembako ini akan berlaku apabila pandemi Covid-19 telah berakhir.
Bahkan, diperkirakan akan berlaku paling lambat tahun 2023.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.