KITA hidup pada abad yang istimewa. Sebanyak 6 dari 10 orang di dunia saat ini mengenal dan menggunakan internet dalam kehidupan sehari-harinya.
Di tengah abad yang akan datang, peranan kecerdasan buatan (artificial intelligence) pasti semakin dominan. Karenanya, banyak sekali solusi dalam kehidupan yang akan dilakukan dengan bantuan mesin.
Lalu, apakah pembelajaran kita kini masih bisa disamakan dengan yang dilakukan seperti pada masa lalu?
Sementara teknologi terus berkembang dengan cepat, bahasa yang digunakan dalam sistem perangkat lunak kita pun sudah jauh berubah.
Bisakah kita tidak peduli apakah para pelajar dan mahasiswa dapat menjadi lifelong learners serta mengembangkan potensi mereka sesuai dengan perkembangan zaman?
Kita melihat dengan jelas betapa sekarang kebutuhan menjadi semakin kompleks dan berkembang sedemikian pesatnya. Untuk memenuhinya, keterampilan-keterampilan kunci pun sudah berfokus pada berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. Tujuan utama pembelajaran sekarang adalah setiap individu dapat berubah secara cepat dan beradaptasi dengan perubahan yang kompleks.
Sudah banyak teori yang menyatakan, pembelajaran yang paling efektif adalah dengan mengikuti formula 70:20:10.
Formula itu mengacu pada 70 persen on the job alias praktik langsung, 20 persen melalui diskusi dengan coach atau mentor, dan 10 persen melalui pembelajaran di kelas.
Tak hanya itu, pembelajaran pada abad ke-21 perlu mempertimbangkan unsur personal dan personalized. Artinya, pembelajaran yang berarti selalu memikirkan sentuhan pribadi dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu yang unik.
Di sini, kita tidak bisa lagi menyamaratakan orang. Ada orang yang cepat belajar di satu bidang. Ada pula yang butuh waktu lebih lama, tetapi bisa menguasai dengan jauh lebih mendalam. Learner’s voice and choice sekarang perlu sekali jadi perhitungan.
Seorang ahli pendidikan Ron Berger mengatakan, pembelajaran masa kini perlu memperhatikan banyak hal agar efisien. Perusahaan yang terlalu berfokus pada produksi dan kinerja—tanpa memberi kesempatan pada karyawan untuk berhenti sejenak agar dapat berefleksi mengenai pencapaian serta apa yang perlu dipelajari—akan kehilangan momentum pembelajaran.
Dampaknya akan terasa beberapa tahun kemudian. Misalnya, tiba-tiba ada hard skills maupun soft skills yang tidak memadai jika dibandingkan dengan keterampilan perusahaan pesaingnya. Itulah sebabnya budaya yang diwarnai sense of belonging dan berfokus kepada values yang dijunjung tinggi akan memudahkan orang untuk belajar.
Kita tahu, pembelajaran pasti diisi oleh kritik, bimbingan, dan umpan balik yang berkesinambungan. Kesadaran bahwa pembelajaran meningkatkan kontribusi akan merangsang individu untuk belajar, di mana pun dan apa pun kesibukannya.
Sekarang, kita perlu berasimilasi dengan keterampilan-keterampilan baru dalam bekerja.
Terkadang, kita pun tidak bisa dengan cepat melihat hasil pembelajaran.
Kita harus mengingatkan diri, kemapanan dalam menguasai keterampilan tertentu bisa disamakan dengan comfort zone yang akan menimbulkan masalah suatu hari nanti.
Kita sering melihat perusahaan yang merekrut karyawan dengan keahlian tertentu. Tujuannya adalah agar ia dapat cepat berkontribusi pada perusahaan. Namun, yang sering terlupakan adalah profesional ini memang dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan untuk beberapa tahun.
Setelah itu, bisa jadi mulai terlihat kekurangannya di sana sini. Latar belakang situasi ini sering tidak disadari, baik oleh top management maupun individu itu sendiri.
Pada saat itulah, kita melihat bila perusahaan belum mempersiapkan karyawannya untuk menjadi lifelong learner.
Padahal, banyak cara belajar yang bisa dilakukan sambil bekerja. Kita bisa melakukan penugasan secara cross function, membuat program coaching mentoring yang intensif, ataupun menantang para profesional untuk membuat program belajar mereka sendiri.
Dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat, tak ada lagi alasan bagi karyawan untuk mengatakan, ia sudah tamat belajar.
Baik individu maupun perusahaan, sekarang perlu memikirkan bagaimana memupuk rasa ingin tahu sebagai pembakar semangat.
Pembelajaran jangan sampai dilihat sebagai pil pahit yang terpaksa harus dijalani di tengah tuntutan tugas lain yang tak kalah pentingnya. Pembelajaran adalah obat mujarab yang bisa membuat kita sukses dalam karier jangka panjang. Oleh karena itu, rasa ingin tahu inilah yang perlu dirangsang dalam lingkungan perusahaan.
Perusahaan memang perlu serius membangun suasana, sikap mental, dan aktivitas pembelajaran di lembaga masing-masing.
Awali dengan memilah pekerjaan menjadi proyek-proyek kecil dan memberi kesempatan pada lebih banyak individu untuk dapat berperan sebagai pemimpin di masing-masing proyek.
Fokus pada leadership sangatlah penting. Banyak perusahaan yang tidak melahirkan pemimpin baru disebabkan fokus pembelajaran tidak diarahkan ke sana.
Pada masa sekarang, banyak juga proyek yang perlu melibatkan komunitas di luar perusahaan. Di sini, individu bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda, sementara perusahaan mendapatkan manfaat untuk memperluas pengenalan perusahaan di masyarakat.
Kita juga perlu menciptakan lebih banyak work based learning, seperti job shadows, tandem dengan yang lebih senior, internship, dan berani “mengkarbit" tenaga muda yang potensial.
Learning journey perlu dipantau secara cermat, program coaching serta mentoring perlu dilakukan secara serius dan mahir. Setiap atasan perlu belajar dan mampu melakukan bimbingan yang tepat kepada bawahannya. Ingatlah, 21st century learning is more than just resiliency.