Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

125 Tahun Koperasi, Perlu Melampaui Kebajikan

Kompas.com - 12/07/2021, 09:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BILA dihitung sejak inisiasi awal, tepatnya di Purwokerto pada 1896, oleh duet antara Raden Aria Wiriaatmadja dengan de Wolff van Westerrode, koperasi di Indonesia sesungguhnya sudah berusia 125 tahun.

Gerakan ini telah melalui serial zaman dan rezim pemerintahan, dengan berbagai pasang-surut kebijakan. Mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, era Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Reformasi dan Pasca Reformasi. Nyatanya koperasi di negeri ini tetap eksis. Meskipun banyak kalangan masih sangsi, seberapa jauh kontribusinya dalam perekonomian bangsa.

Serial panjang koperasi mengkristal pada masa Orde Lama, dengan Moh. Hatta, proklamator dan Wakil Presiden, tampil sebagai tokoh dan penganjur koperasi. Sebagai orang yang pernah melihat praktik baik di Eropa, khususnya Denmark, Hatta kagum pada koperasi di sana.

Bagaimana koperasi benar-benar mewujud sebagai melting point antara “individualitas” dengan “solidaritas”. Dengan individualitas, orang-orang berupaya memberdayakan dirinya (self help) dengan jalan bekerjasama. Dan solidaritas menjadi pilar yang memungkinkan kerjasama itu terjadi dan langgeng.

Singkatnya, koperasi genuine adalah koperasi yang tumbuh dari prakarsa anggotanya. Yang menginsyafi harkat-martabat dirinya untuk bersama-sama maju membangun status sosial-ekonominya. Hatta dalam berbagai tulisannya berkali-kali mengingatkan pentingnya sikap pro-sosial.

Meski terkesan klise, Hatta menganjurkan untuk mendahulukan kepentingan orang lain di banding kepentingan diri sendiri. Sebuah bentuk altruisme resiprokal yang memungkinkan satu dengan yang lain hidup tolong-menolong, gotong-royong.

Baca juga: Darurat Lembaga Penjamin Simpanan bagi Koperasi

Gotong Royong

Pada gotong royong itu, agaknya Hatta menemukan tantangan. Dalam tulisannya “Koperasi di Indonesia”, Hatta (1951) mengatakan, “Kerja sama adalah dasar koperasi ekonomi, sebab itu rasa solidaritas mesti ada padanya. Apabila belum ada pada mulanya, perasaan itu harus dipupuk”.

Dalam uraian itu, Hatta memahami ada perbedaan mendasar antara gotong royong sebagai ko-operasi sosial, dengan ko-operasi ekonomi sebagai perusahaan.

Lebih tegas daripada Hatta, Margono Djoyohadikusumo (1941) mengomentari embrio koperasi pertama di Purwokerto dulu kala. Margono menduga Westerrode salah memahami modus kerja sama masyarakat Indonesia yang sebenarnya berbeda dengan masyarakat Jerman.

Kisahnya, untuk membantu inisiatif Wiriaatmadja, Westerrode ambil cuti dan studi banding ke Jerman mempelajari praktik credit union atau Raiffeisen bank di sana. Sekembalinya ia perkenalkan dan implementasikan bersama Wiriaatmadja. Lalu, gagal.

Margono mengulas, hal itu karena kerja sama di Jerman itu adalah kerja sama ekonomi. Sedangkan kerja sama yang ada di masyarakat Indonesia adalah kerja sama sosial.

Itu bisa kita telusur jauh ke belakang tentang modus-modus kerjasama sosial di berbagai daerah di Indonesia. Gotong-royong di Jawa, sambatan. Gotong-royong di masyarakat Bali, subak. Di Sumatera Barat, mapalus dan lain-lainnya.

Singkatnya, soal gotong-royong, bantu-membantu, masyarakat kita punya jejak panjang yang sudah menjadi habitus sehari-hari.

David Henley (2007) dalam tulisannya “Adat dan Koperasi” mengelaborasi mendalam isu itu. Mengutip berbagai sarjana ia merangkum bahwa modus kerjasama sosial yang ada di Indonesia tidak serta merta bisa dikonversi menjadi kerjasama ekonomi dalam bentuk koperasi.

Mengutip Boeke dia mengatakan, “Koperasi sebetulnya tidak bersifat komunal, tapi korporat, kebarat-baratan, anak asuh kapitalisme dan berbasis pada ekonomi uang dan perdagangan. Tidak ada hubungannya dengan perekonomian desa, dengan tradisi dan kehidupan perdesaan sehari-hari”.

Henley melihat bahwa apa yang diserukan oleh Hatta bersifat kontra faktual, faktanya gotong royong di Indonesia itu tidak kompatibel betul bagi koperasi. Namun dalam berbagai pandangan dan tulisannya, Hatta (dan juga tokoh lain, Soekarno dan juga Soeharto) selalu mengafirmasi, bahwa gotong royong ini sebangun dengan koperasi. Sehingga tak heran bila Hatta menaruh pendidikan sebagai ujung tombak gerakannya. Sebab sistem nilai baru itu, koperasi, harus diajarkan agar mendarah daging di masyarakat.

Baca juga: Bos IMF Sebut Perlu Gotong Royong untuk Kesuksesan Ekonomi Asia

Kebajikan Sosial

Baru-baru ini Charities Aid Foundation (CAF) merilis World Giving Index (Juni, 2021). Kabar gembira buat kita, sebab Indonesia menempati rangking satu di dunia dari 114 negara dengan skor 69 persen.

Indeks kedermawanan itu terdiri dari tiga variabel: kesediaan menolong orang lain, kesediaan berdonasi dan terakhir kesediaan waktu untuk aktivitas volunteer. Dari tiga komponen itu, masyarakat Indonesia juaranya. Disusul peringkat berikutnya Kenya (58 persen), Nigeria (52 persen), Myanmar (51 persen) dan Australia (49 persen).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Whats New
Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Spend Smart
Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com