Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Utang Tutut Soeharto dalam Kasus BLBI

Kompas.com - 11/09/2021, 09:50 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penagihan utang dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Pemerintah mengumumkan daftar obligor atau debitur yang masuk dalam prioritas penagihan. 

Salah satu obligor yang masuk daftar prioritas penagihan BLBI adalah Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto. Ia merupakan anggota Keluarga Cendana kedua yang disasar Satgas BLBI setelah Tommy Soeharto.

Utang BLBI atas nama Tutut Soeharto tersebut muncul setelah pemerintah memberikan dana kepada 3 perusahaan miliknya yakni PT Citra Mataram Satriamarga, PT Marga Nurindo Bhakti, dan PT Citra Bhakti Margatama Persada.

Ketiga perusahaan tersebut memiliki utang ke negara masing-masing Rp 191,6 miliar, Rp 471,4 miliar, Rp 6,52 juta dollar AS, dan Rp 14,79 miliar.

Baca juga: Daftar Obligor BLBI yang Dikejar Sri Mulyani, Ada Nama Tutut Soeharto

Yang menarik dan berbeda dengan para obligor BLBI lainnya, utang ke negara tersebut tidak disertai dengan jaminan aset.

Jaminan aset atas utang milik Tutut Soeharto disebutkan tidak ada sama sekali, agunan yang dipakai saat itu hanya berupa SK proyek.

Tutut sejauh ini belum pernah dipanggil langsung oleh Satgas BLBI dalam beberapa waktu terakhir. Sementara adik kandung, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, sempat dipanggil menghadap Satgas BLBI.

Total utang BLBI

Pemerintah memerinci, setidaknya ada 48 obligor dan debitur yang memiliki kewajiban pembayaran utang kepada negara. Secara keseluruhan, besaran utang yang ditagih kepada para obligor dan debitur BLBI adalah senilai Rp 110,45 triliun.

Baca juga: Tolak Bayar Utang ke Pemerintah, Pihak Bambang Trihatmodjo Beberkan Kronologinya

Untuk menagih utang tersebut, pemerintah akhirnya membentuk Satgas BLBI. Satgas diberikan tugas untuk mengejar para obligor atau debitur hingga ke luar negeri sampai tahun 2023.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan ingin dana BLBI itu segera dibayar karena kasus sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.

"Saya akan terus meminta kepada tim untuk menghubungi semua obligor, termasuk kepada para keturunannya, karena barangkali ada mereka yang usahanya diteruskan kepada para turunannya. Kita akan negoisasi untuk dapatkan kembali hak negara," ujar dia beberapa waktu lalu.

Diketahui, masih banyak obligor yang masih berhutang ke negara, baik karena memang melunasi kewajibannya, maupun karena aset yang dijaminkan tidak cukup untuk melunasi.
Pemerintah menyatakan memegang komitmennya untuk mengejar para debitur dan obligor, termasuk yang sudah tidak tinggal di alamatnya dulu.

Baca juga: Gugatan Terhadap Sri Mulyani Ditolak, Bambang Trihatmodjo Ajukan Banding

Terbukti, ada beberapa obligor dan debitur yang sudah hijrah ke Bali, Medan, bahkan Singapura, tetapi tetap mendapat surat panggilan dari pemerintah.

Beberapa obligor juga diketahui sudah meninggal, sehingga penagihan terpaksa dilakukan kepada ahli warisnya. Dari puluhan obligor yang ada, ada 7 di antaranya masuk dalam penagihan prioritas.

Selain sosok Tutut Soeharto, beberapa nama obligor lainnya yang masuk prioritas penagihan yakni Marimutu Sinivasan pemilik dari Grup Texmaco dan Sujanto Gondokusumo pemilik Bank Dharmala.

Lalu ada Hindaro Tantular dan Anton Tantular pemilik Bank Central Dagang, Kaharudin Ongko pemilik Bank Umum Nasional, Trijono Gondokusumo pemilik Bank Putra Surya Perkasa, dan terakhir Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dewa Rutji.

Baca juga: Gurita Bisnis Bambang Trihatmodjo, Putra Soeharto yang Gemar Berbisnis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com