Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hadapi Krisis Ekonomi, Mata Uang Myanmar Anjlok 60 Persen

Kompas.com - 11/10/2021, 13:22 WIB
Mutia Fauzia

Penulis


YANGON, KOMPAS.com - Kyat, mata uang Myanmar anjlok 60 persen terhadap dollar AS sejak negara tersebut mengalami kudeta yang dilakukan oleh angkatan bersenjata per Februari lalu.

Dilansir dari Frontier Myanmar, kini nilai mata uang negara tersebut berada di kisaran 2.700 kyat per dollar AS atau mencapai titik terendahnya pada bulan September lalu sebelum akhirnya sedikit menguat di kisaran 2.200 kyat per dollar AS.

Krisis ekonomi Myanmar terjadi setelah kudeta militer dan banyak analis yang meragukan rezim militer memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tekanan ekonomi.

Selain itu, disrupsi yang disebabkan oleh aksi unjuk rasa yang dilakukan pegawai negeri serta pekerja bank swasta membuat para analis kian ragu rezim milter mampu menjaga perekonomian Myanmar tetap stabil.

Lembaga keuangan Bank Pembangunan Asia (ADB) beberapa waktu lalu sempat merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Myanmar untuk tahun 2020-2021 ini.

Baca juga: Ada Konflik, Ekspor RI ke Myanmar Turun

Bahkan, di tengah krisis ekonomi Myanmar, Program Pembangunan PBB (UNDP) menyebut, hampir separuh dari penduduk negara itu bakal hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2022 mendatang.

Kondisi Terkini Myanmar

Diberitakan Frotier Myanmar, kini konsumen tengah mengalami tekanan akibat kenaikan harga-harga, termasuk di dalamnya harga BBM yang telah meningkat nyaris dua kali lipat setelah kudeta.

Keterbatasan pasokan BBM pun membuat beberapa SPBU di negara itu harus menghentikan operasional.

Di sisi lain, bank sentral setempat juga mulai menjual dollar AS dengan tarif diskon untuk beberapa importir bahan bakar terpilih. Dengan demikian, para importir BBM tersebut bisa membawa masuk bahan bakar dan diesel untuk dijual di bawah harga pasar.

Hal tersebut pun menciptakan ketidakadilan bagi importir bahan bakar lain yang tak mampu untuk mengimpor BBM ke Myanmar.

Beragam kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan masyarakat mengenai kemungkinan yang terjadi bila pemerintah penguasa tak mampu mengontrol depresiasi yang menyebabkan krisis mata uang Myanmar. Selain itu, Myanmar juga dihadapkan pada kondisi gejolak harga beragam bahan pokok.

Baca juga: Gara-gara Kudeta, AS Bekukan 1 Miliar Dollar AS Aset Myanmar

Dilansir dari Financial Times, PBB pun menyatakan risiko kekurangan pendanaan untuk Myanmar.

Padahal, Myanmar tengah menghadapi tiga krisis sekaligus, yakni krisis ekonomi, kudeta militer, sekaligus krisis yang diakibatkan oleh kondisi pandemi Covid-19.

Koordinator PBB di Myanmar mengatakan kepada Financial Times, PBB hanya mampu mengumpulkan kurang dari setengah dari permohonan kemanusiaan darurat untuk Myanmar, yakni sebesar 385 juta dollar AS per 6 Oktober lalu.

"Sebanyak ratusan ribu orang mengungsi tahun ini, dan sebanyak jutaan jatuh ke jurang kemiskinan akibat lapangan kerja yang berkurang akibat konflik dan karena Covid-19," ujar Kirkwood.

"Harga-harga bahan pokok melejit, dan membuat orang-orang harus bertahan tanpa makan dan obat-obatan yang tak lagi mampu mereka jangkau," ujar dia.

PBB memperkirakan, sebanyak 215.000 orang telah mengungsi dari rumah mereka sejak kudeta angkatan bersenjata di Myanmar terjadi pada 1 Februari lalu.

"Saya pikir ini adalah krisis yang terjadi di atas krisis, dengan krisis ketiga lainnya yang juga kemudian mengikuti," jelas Kirkwood.

"Saya telah hidup di negara ini selama 17 tahun, dan tidak pernah mengalami situasi seburuk saat ini," ujar dia.

Baca juga: Krisis Energi Ancam Berbagai Negara di Dunia, Apa Penyebabnya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com