Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani Jelaskan Kaitan Utang Pemerintah dan Krisis Ekonomi 1998

Kompas.com - 27/10/2021, 11:32 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa tingginya utang pemerintah saat ini terjadi karena beberapa hal. 

Ia mengatakan, lonjakan utang yang terjadi saat ini tidak berlangsung begitu saja. Kondisi utang sudah diperparah sejak puluhan tahun lalu, dan makin buruk saat krisis moneter berlangsung pada 1997-1998.

Sri Mulyani berujar, krisis moneter berakibat pada perusahaan dan perbankan yang waktu itu banyak meminjam dollar Amerika Serikat (AS) ke luar negeri, termasuk juga obligasi pemerintah.

Hal tersebut menjadi beban Indonesia karena nilai tukar rupiah terus terkoreksi dari Rp 2.500 per dollar AS sampai sekitar Rp 17.000 per dollar AS.

Baca juga: Membandingkan Utang Pemerintah Era SBY dan Jokowi, Mana Paling Besar?

Untuk menjaga keberlangsungan ekonomi, selain dibebankan dengan lonjakan utang pemerintah, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus-stimulus agar tak semakin banyak perusahaan yang buntung.

“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” jelas Sri Mulyani dikutip dari Kontan, Rabu (27/10/2021).

Mantan dosen FE UI ini menyebut bahwa pengelolaan anggaran negara tak bisa dilepaskan dari utang. Utang pemerintah dipakai untuk menambal defisit APBN.

Kenaikan utang pemerintah ibarat dua sisi, bisa menjadi penggerak ekonomi. Sebaliknya, utang pemerintah bisa menjadi beban apabila tidak dikelola secara baik.

Baca juga: Berapa Lonjakan Utang Pemerintah di 2 Periode Jokowi sejak 2014?

Sri Mulyani sendiri saat ini mengaku cukup gembira karena banyak warga negara yang antusias membahas soal utang negara sehingga bisa turut andil mengawasi penggunaan APBN.

Ketua DPR Puan Maharani (kanan) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) saat Rapat Konsultasi di Pansus B, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/12/2019). Rapat Konsultasi Menteri Keuangan dengan pimpinan DPR, Komisi XI, Komisi VII, dan Badan Anggaran (Banggar) tersebut membahas program Omnibus Law dan RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020 terkait dengan Keuangan dan perkembangan Makro Fiskal dan Keuangan Negara.  ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww. RENO ESNIR Ketua DPR Puan Maharani (kanan) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) saat Rapat Konsultasi di Pansus B, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/12/2019). Rapat Konsultasi Menteri Keuangan dengan pimpinan DPR, Komisi XI, Komisi VII, dan Badan Anggaran (Banggar) tersebut membahas program Omnibus Law dan RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020 terkait dengan Keuangan dan perkembangan Makro Fiskal dan Keuangan Negara. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

“Sekarang semua orang ngurusin utang, semua bicara mengenai itu. Jadi it's good (bagus) kalau kita punya ownership (rasa memiliki) terhadap keuangan negara,” kata Sri Mulyani.

Diungkapkan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, banyak anggota masyarakat yang saat ini cukup kritis terhadap pengelolaan utang negara dengan membaca secara detail laporan APBN. 

Terlebih lagi, Kementerian Keuangan rutin melaporkannya penggunaan APBN setiap bulan kepada media massa dan masyarakat.

Baca juga: Bengkak Lagi, Utang Pemerintah Jokowi Naik Jadi Rp 6.625 Triliun

“Nah, kalau hari ini banyak orang yang melihat pada keuangan negara dengan sangat-sangat detail, itu saya senang banget. Kalau 1997-1998 enggak ada yang lihat APBN, dianggap take it for granted. Di 2008-2009 pun enggak ada yang lihat APBN,” ujarnya.

Utang pemerintah

Kenaikan utang pemerintah selalu jadi isu sensitif. Teranyar, utang negara saat ini totalnya mencapai Rp 6.625,43 triliun.

Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya. Artinya, lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com