Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika PP Pengupahan Tak Dicabut, Buruh Sebut Pengangguran Akan Naik dan Daya Beli Turun

Kompas.com - 29/11/2021, 18:12 WIB
Ade Miranti Karunia,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menekankan, bila aturan pelaksana atau peraturan pemerintah (PP) dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja khususnya bagian pengupahan tak dicabut, maka akan berdampak negatif terhadap dunia ketenagakerjaan.

"Dampak luas dari peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja tersebut adalah mempermudah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Mirah melalui keterangan tertulis, Senin (29/11/2021).

Baca juga: Kemenaker Sebut Sistem Pengupahan yang Baik Bisa Dongkrak Produktivitas Dunia Usaha

Ia juga mengingatkan pemerintah agar tidak menyakiti hati rakyat dengan berbagai kecerobohan dan pemaksaan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.

"Laksanakan amanah konstitusi UUD 1945, secara bertanggungjawab untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan tunduk pada kepentingan pemodal yang hanya ingin mengambil keuntungan bagi kelompoknya sendiri," kata dia.

Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, hari ini, puluhan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembatalan penetapan upah minimum yang bertentangan dengan perintah MK.

Aksi unjuk rasa ini menyasar Kantor Balai Kota DKI Jakarta dan Kantor Gubernur Jawa Barat.

Baca juga: Apa Implikasinya jika Upah Minimum Ditetapkan Tak Sesuai PP Pengupahan?

"Kami akan meminta Gubernur Anies Baswedan dan Gubernur Ridwan Kamil, untuk taat pada Putusan MK dengan cara membatalkan penetapan upah minimum di Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, yang telah diterbitkan sebelum adanya Putusan MK," tegas Mirah.

Mirah kembali menekankan, Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

"Artinya, penetapan upah minimum tahun 2022 yang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, harus dibatalkan. Karena PP No. 36/2021 adalah peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, serta bersifat strategis dan berdampak luas, sebagaimana yang dinyatakan oleh putusan MK," kata dia.

Upah minimum menurut Mirah, termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum.

Baca juga: BPS Sebut Upah Tinggi Bisa Berdampak ke Tingkat Pengangguran

Tuntutan buruh hingga kini adalah menaikkan upah minimum tahun 2022, di kisaran 7-10 persen.

"Aspek Indonesia mendesak pemerintah untuk tidak memaksakan kehendak, khususnya terkait dengan adanya berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diterbitkan. Tuntutan Aspek Indonesia kepada pemerintah adalah batalkan 4 peraturan pemerintah yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com