Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Doty Damayanti
-

Doty Damayanti, lulusan Program Studi Biologi Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, adalah Konsultan Prinsipal pada Terra Komunika dengan perhatian utama pada topik pembangunan berkelanjutan, pembangunan hijau dan rendah karbon, pengembangan energi terbarukan, dalam konteks besar mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Daerah dan Pembangunan Rendah Karbon

Kompas.com - 11/12/2021, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA berkunjung ke Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo sempat menengok gerai ekonomi lestari di terminal Bandara Tebelian. Presiden Jokowi diperkenalkan dengan buah tengkawang dan jaket bomber tenun Dayak Sintang.

Kabupaten Sintang termasuk sedikit daerah yang memulai perjalanan baru membangun dengan pendekatan pembangunan rendah karbon, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Topik yang banyak diperbincangkan belakangan ini, terutama pasca Pertemuan Para Pihak Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP UNFCC) di Glasgow, Skotlandia dan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 periode 2021-2022.

Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebenarnya telah dimulai sejak Oktober 2017, setahun setelah Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris. Prinsip dan agenda implementasi pembangunan rendah karbon tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Agenda utamanya antara lain membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.

Baca juga: Bappenas: Pembangunan Rendah Karbon Percepat Pemulihan Ekonomi Nasional

Secara hierarki, RPJMN menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Ada banyak alasan mengapa peran pemerintah daerah perlu lebih diperhatikan dalam upaya pencapaian target pembangunan rendah karbon, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Setidaknya ada tiga hal pokok.

Pertama, kegiatan pembangunan secara riil terjadi di daerah. Jika kita bicara daerah maka ada 416 kabupaten dan 98 kota yang tersebar di 34 provinsi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mereka memilik beragam potensi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut dengan kegiatan pembangunan yang melibatkan alih fungsi hutan dan lahan, pemanfaatan sumber daya kelautan, pemanfaatan energi, hingga menghasilkan sampah dan limbah.

Kedua, sekitar 60 persen anggaran negara diserahkan pengelolaannya ke daerah melalui berbagai mekanisme. Sebagai gambaran, APBN tahun 2021 mengalokasikan transfer ke daerah sebesar Rp 795,48 triliun.

Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi 265 miliar dollar AS untuk mencapai target nasional penurunan emisi karbon 29 persen. Transformasi ekonomi melalui pembangunan rendah karbon memerlukan dukungan regulasi, dukungan kelembagaan, dan kerangka pembiayaan yang memadai hingga ke level daerah.

Ketiga, masyarakat di daerah berhadapan langsung dengan dampak pembangunan yang tinggi emisi karbon dan mengabaikan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim.

Ilustrasi emisi karbon penyebab polusi. Emisi karbon, emisi gas rumah kaca, emisi global.SHUTTERSTOCK/aapsky Ilustrasi emisi karbon penyebab polusi. Emisi karbon, emisi gas rumah kaca, emisi global.
Tantangan implementasi

Jika kita telaah, ada sejumlah kondisi yang menjadi tantangan dalam implementasi PRK di daerah.

Pertama, harus diakui belum semua daerah memiliki visi yang sejalan dengan prinsip PRK. Sebagian besar daerah masih sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli.

Kegiatan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar yang padat modal dinilai paling mudah memberikan manfaat ekonomi dan memiliki efek bergulir. Eksternalitas dari kegiatan pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam dalam jangka panjang belum menjadi pertimbangan.

Kedua, keterbatasan kapasitas institusional maupun sumber daya manusia untuk mengadopsi visi PRK ke dalam perencanaan pembangunan jangka menengah maupun panjang. Selain RPJMD, sejumlah perencanaan yang terkait antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Umum Penanaman Modal (RPUM), dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Baca juga: Indonesia Targetkan Pembangunan Rendah Karbon 2030, Apa Tujuannya?

Ketiga, masih terjadi inkonsistensi pemerintah nasional dalam menjalankan proyek strategis nasional yang terindikasi tidak sejalan dengan prinsip PRK. Hal ini terlihat pada proyek food estate di Kalimantan Tengah yang telah berjalan ketika Kajian Lingkungan Hidup Strategis belum selesai dibuat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com