Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Buyung Wijaya Kusuma
Komisaris di sebuah BUMN

Komisaris BUMN yang bergerak di bidang energi, PT Brantas Energi. Memiliki pengalaman puluhan tahun di harian KOMPAS dan mendalami bidang energi dan sumber daya mineral. Ketika berkarir di KOMPAS, memiliki hubungan yang erat dengan berbagai narasumber, baik dari pemerintah, pengamat, DPR hingga kalangan industri. Berkat hubungan baik tersebut, selalu mendapatkan berita ekslusif dan tak jarang menjadi trend setter bagi media-media nasional lainnya.

Hingga kini, di tengah kesibukan, penulis terus mengikuti perkembangan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air dan mancanegara yang dituangkan dalam sejumlah tulisan.

Kisruh Defisit Batu Bara Domestik, Alarm untuk Percepatan Transisi ke Energi Baru Terbarukan

Kompas.com - 05/01/2022, 14:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDUSTRI pertambangan nasional dan internasional mengawali tahun 2022 dengan menelan pil pahit menyusul keputusan pemerintah untuk menghentikan sementara ekspor batu bara pada 1-31 Januari 2022.

Keputusan pemerintah tersebut dilakukan dengan pertimbangan matang karena PT PLN (Persero) mengalami defisit pasokan batu bara yang seharusnya didapat dari kewajiban alokasi produsen batu bara (domestic market obligation/DMO).

Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021, pemerintah telah menetapkan kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, yaitu minimal 25 persen dari rencana produksi yang disetujui.

Baca juga: Soal Krisis Stok Batu Bara, Erick Thohir: Ini Bukan Saatnya Saling Menyalahkan

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Jamaludin, dari 5,1 juta ton penugasan DMO dari pemerintah, volume yang dipenuhi para produsen hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya sebesar 35.000 ton atau kurang dari 1 persen. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada. Padahal persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi.

Jika ekspor tetap dilanjutkan, maka 10 juta pelanggan PLN akan merasakan pemadaman listrik karena hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 mega Watt (MW) akan padam.

Pemerintah selanjutnya memutuskan untuk memperbaiki kontrak jangka panjang batu bara agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan suplai dalam negeri. Sementara Menteri ESDM juga akan mengeluarkan perubahan DMO yang bisa dievaluasi setiap bulan.

Presiden Joko Widodo juga mengancam, perusahaan yang tidak menepati kontrak akan diberi penalti, atau bahkan dicabut izinnya.

Rekasi APBI

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) bereaksi keras atas keputusan pemerintah. Menurut mereka, keputusan tersebut akan mengganggu volume produksi batu bara nasional sebesar 38-40 juta ton per bulan.

Selain itu pemerintah juga akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih tiga miliar dollar AS per bulan. Yang tak kalah penting, keputusan tersebut menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara.

Keputusan penghentian ekspor pemerintah tersebut juga menggoyang pasar dunia. Hal itu tak lepas dari peran Indonesia yang masih menjadi pengekspor utama batu bara global. Pasar khawatir jika keputusan berlanjut, ketahanan energi negara-negara di Asia Pasifik, seperti China, India, Jepang dan Korea Selatan, akan berdampak.

Masalah pasokan energi memang cukup pelik dan sensitif karena menyangkut hidup orang banyak. Apalagi saat ini ketergantungan PLN terhadap komoditas batu bara sangat tinggi. Pada 2021, PLN memproyeksikan kebutuhan batu bara untuk PLTU-nya mencapai 115,6 juta ton. Angka tersebut diperkirakan akan terus naik di angka 119,19 juta ton.

Berhenti sampai di situ? Belum. Kebutuhan emas hitam itu diproyeksikan akan terus merangkak naik hingga sembilan tahun ke depan hingga mencapai 153 juta ton pada 2030.

Peta jalan EBT

Menteri BUMN Erick Thohir sendiri mengakui bahwa pemerintah berkomitmen untuk menggantikan komoditas batu bara dengan EBT (energi baru terbarukan). Saat ini pemerintah telah menyiapkan peta jalan pengembangan ekonomi hijau dan transisi energi agar Indonesia segera memilik EBT.

Baca juga: Soal DMO Batu Bara, Kadin: Kami Sejalan dengan Presiden

Terkait hal itu, PLN telah memiliki sejumlah skenario, yaitu mempensiunkan PLTU-nya secara bertahap mulai 2035 sebagai bagian dari komitmen perusahaan untuk berpihak pada EBT. Apalagi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), disebutkan target energi primer EBT pada 2025 paling sedikit mencapai 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.

Dengan patokan tersebut, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus mencapai sekitar 42,5 giga Watt dan menjadi 167,7 GW pada 2050.

Berkaca pada kasus defisit batu bara tersebut, rasanya pemerintah dan stakeholders terkait harus segera berlari, tak lagi merangkak, dalam melakukan percepatan transisi ke energi hijau. Pemerintah harus segera menindaklanjuti komitmen-komitmen sejumlah negara yang ingin berinvestasi di sektor EBT Indonesia.

Pemerintah pun harus semakin aktif dalam mencari mitra untuk menggolkan proyek-proyek EBT yang sudah ada dalam cetak biru. Dan, yang tak kalah penting, pemerintah, stakeholders, dan investor harus segera duduk bersama untuk melakukan kajian terkait peluang dan kendala untuk menjalan proyek EBT secara masif. Seperti pepatah bilang: If there’s a will, there’s a way.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com