Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Indonesia, Negeri Tempe, Kedelainya Mayoritas Impor

Kompas.com - 19/01/2022, 02:33 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin memaparkan terdapat kelebihan dan kekurangan dari produk kedelai impor maupun kedelai produksi dalam negeri dilihat dari segi bisnis.

Dilansir dari Antara, Rabu (19/1/2022), dia mengatakan kedelai impor memiliki kelebihan dari segi kualitas yang sudah terstandarisasi baik dari bentuk, ukuran, warna, tingkat kekeringan, protein yang semuanya seragam.

Hal itu karena produksi kedelai impor dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, ataupun Kanada sudah menggunakan teknologi dan mekanisasi dengan sistem pertanian presisi agar menghasilkan produk yang seragam.

Sedangkan petani di Indonesia masih menerapkan sistem pertanian tradisional sehingga kualitas kedelai yang dihasilkan tidak terstandar atau berbeda-beda.

Baca juga: Gaduh Kedelai Impor, Masalah Klasik yang Terus Berulang

Kendati demikian, produk kedelai dalam negeri memiliki gizi khususnya kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan produk impor, karena ditanam dengan cara yang tradisional.

"Tapi kalau kedelai lokal itu pada umumnya tidak ada standarisasi. Namun karena dia alamiah, ini proteinnya, gizinya lebih tinggi, lebih bagus daripada kedelai impor," kata Aip.

Dari segi harga, kedelai impor lebih tinggi dibandingkan kedelai lokal. Harga kedelai impor yang dibeli oleh perajin tempe dan tahu berkisar Rp 10.000 per kilogram. Harga tersebut mengikuti perkembangan harga kedelai internasional secara global.

Sedangkan harga kedelai lokal berkisar di Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kilogram. Hal itu dikarenakan kedelai lokal yang dijual oleh petani tidak dalam bentuk kedelai utuh, melainkan juga masih terdapat daun dan batang pohon.

Baca juga: Soal Polemik Kedelai Impor, Mentan: Saya Tidak Mau Janji Dulu

Sehingga volume kedelai dalam satu karung bisa menyusut karena proses pembersihan terlebih dahulu yang dilakukan oleh perajin tahu dan tempe.

Meskipun kualitas kedelai lokal yang belum terstandar, produk protein nabati dalam negeri tersebut masih tetap digunakan terlebih pada perajin tahu dan tempe khusus dengan orientasi ekspor.

"Sudah ada beberapa daerah misalnya Koperasi Produsen Tahu dan Tempe di Bandung, di Jawa Tengah, di Yogyakarta, di Jawa Timur, di Malang, Surabaya, dan lain-lain, yang hanya menginginkan kedelai lokal," jelas Aip.

"Karena dia membuat tempe dengan kualitas yang premium, kualitas yang bagus dan orientasinya mereka untuk membuat tempe ini menjadi tempe yang akan diekspor," kata Aip lagi.

Baca juga: Mengapa Pemerintah Hindia Belanda Melaksanakan Tanam Paksa?

Kerap jadi polemik

Masalah kedelai impor sebenarnya bukan hal baru dan sudah lama terjadi. Diberitakan Harian Kompas, 3 Februari 2014, kedelai impor sempat jadi polemik di Tanah Air lantaran harga dari importir melambung tinggi.

Saat itu, para perajin kedelai juga sempat melakukan aksi mogok produksi dan menuntut pemerintah segera menyelesaikan tingginya harga kedelai impor asal Amerika Serikat.

Bahkan, Gabungan Koperasi Tempe Tahu Indonesia menyebut penyebab melonjaknya harga kedelai impor karena permainan kartel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com