Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Buyung Wijaya Kusuma
Komisaris di sebuah BUMN

Komisaris BUMN yang bergerak di bidang energi, PT Brantas Energi. Memiliki pengalaman puluhan tahun di harian KOMPAS dan mendalami bidang energi dan sumber daya mineral. Ketika berkarir di KOMPAS, memiliki hubungan yang erat dengan berbagai narasumber, baik dari pemerintah, pengamat, DPR hingga kalangan industri. Berkat hubungan baik tersebut, selalu mendapatkan berita ekslusif dan tak jarang menjadi trend setter bagi media-media nasional lainnya.

Hingga kini, di tengah kesibukan, penulis terus mengikuti perkembangan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air dan mancanegara yang dituangkan dalam sejumlah tulisan.

Birokrasi, Harga dan Pengembangan PLTA di Indonesia

Kompas.com - 01/03/2022, 09:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENERGI baru dan terbarukan adalah energi masa depan. Hampir seluruh pihak satu suara terkait hal tersebut, seiring dengan kesepakatan sejumlah negara untuk memangkas penggunaan batu bara dan beralih ke energi bersih untuk menjaga suhu Bumi.

Indonesia sudah jauh-jauh hari membuat cetak biru bauran energi yang dikenal sebagai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dalam RUEN, disebutkan target energi primer EBT pada 2025 paling sedikit mencapai 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.

Dengan patokan tersebut, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus mencapai sekitar 42,5 gigawatt dan menjadi 167,7 GW pada 2050.

Namun menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
realisasi bauran EBT pada 2021 naik tipis, sebesar 0,3 persen, dibandingan realisasi 2020.

Capaian angka EBT pada tahun lalu tersebut disebut ESDM setara dengan 151,6 juta barel equivalent.

Meski demikian, angka tersebut baru mencapai 11,5 persen bauran nasional, masih jauh dari target EBT sebesar 23 persen yang ditetapkan pemerintah, yang notabene hanya tinggal tiga tahun lagi.

Harus diakui pengembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit. Meski demikian, bukan berarti pengembangan energi tersebut sepi peminat.

Pembangkit Listrik Negara Air (PLTA), misalnya, ternyata berhasil menyedot minat investor.

Perusahaan mantan Wakil Presiden RI Juduf Kalla, misalnya, melalui skema independent power producer (IPP) menggelontorkan dana sebesar Rp 17,1 triliun untuk membangun dua PLTA di Sulawesi, yaitu Poso berkapasitas 515 MW dan PLTA Malea berkapasitas 90 MW.

Meskipun skema yang digunakan adalah listrik swasta, tetapi nyatanya mereka menemui kesulitan dalam bernegosiasi dengan PT PLN.

Menurut Jusuf Kalla, birokrasi di PLN sangat rumit sehinga negosiasi yang dibutuhkan untuk kedua proyek tersebut mencapai lima tahun.

Alhasil total waktu hingga dapat mengoperasikan PLTA tersebut adalah 12 tahun.

Hal sama juga dikeluhkan investor lain yang mengatakan lambatnya proses negosiasi tersebut terkait dengan harga listrik EBT.

Ketidakpastian aturan mengenai harga listrik EBT memang menjadi kendala bagi investor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com