Oleh: Frangky Selamat, Keni, Ida Puspitowati, Lydiawati Soelaiman
TERINGAT pengalaman di masa kecil ketika seorang kawan memamerkan sepeda yang baru dibelikan orangtuanya.
Berkeliling kompleks perumahan, mengetuk pintu lalu memberikan maklumat, ”Ini lho sepeda baruku, mana sepedamu?”
Perilaku pamer sudah ada sejak dulu. Sebelum media sosial hadir membombardir penghuni bumi untuk memberitakan dirinya tanpa ada editor yang menyunting.
Manusia narsis, yang suka mencari “panggung” dan menonjolkan “kelebihan” serta membangun rasa cemburu orang sekitar, telah eksis sejak manusia hadir di bumi ini.
Kemajuan teknologi internet menghadirkan kehidupan di dunia yang lain, maya, tidak nyata, mendorong perilaku itu makin menjadi-jadi. Bahkan dijadikan alat untuk memasarkan produk kepada pasar sasaran yang dituju.
Kini, perilaku suka pamer, tentu saja kekayaan, bukan kemiskinan, yang dikenal sebagai “flexing” malah digunakan sebagai alat pemasaran. Bisa saja disebut “flexing marketing”.
Para influencer, crazy rich, sultan atau istilah lainnya, dengan jumlah follower yang besar dijadikan bagian dari sarana itu.
Meyakinkan konsumen bahwa figur itu adalah contoh tepat kehebatan produk yang ditawarkan.
Jika ingin sesukses mereka, maka gunakan produk itu. Atau jika ingin dianggap “sultan”, mengonsumsi produk itu menjadi keniscayaan.
“Flexing marketing”, istilah ini tidak ditemukan di buku teks pemasaran atau perilaku konsumen manapun.
Istilah yang mendekati disebut “conspicuous consumption” atau jika diterjemahkan bebas, artinya konsumsi untuk pamer.
Bedanya adalah “flexing” kental dengan unsur “tipu-tipuan”, sementara conspicuous consumption tidak begitu.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Thorstein Veblen pada 1899 yang disebut sebagai The Theory of the Leisure Class, yang mengacu pada praktik konsumsi kompetitif dan boros, serta aktivitas waktu luang yang bertujuan menunjukkan keanggotaan pada kelas sosial lebih tinggi (Patsiaouras & Fitchett, 2012).
Dalam teorinya Veblen mempertanyakan pandangan ekonomi neoklasik konvensional dan menghasilkan teori awal mengenai konsumsi yang digerakkan oleh status (status-driven consumption).