Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Punya Target Defisit 3 Persen, Kemenkeu Wanti-wanti Pembengkakan Subsidi Energi

Kompas.com - 22/03/2022, 11:12 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mewanti-wanti pembengkakan subsidi energi akibat ketidakpastian global yang menyebabkan melonjaknya harga komoditas termasuk minyak dan gas alam.

Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan, pembengkakan subsidi energi menjadi salah satu risiko yang dipantau kementerian, mengingat adanya target konsolidasi fiskal 3 persen di tahun 2023.

"Banyak yang jadi perhatian, ketidakpastian global yang menyebabkan meningkatnya berbagai harga komoditas sehingga kita lebih banyak menyiapkan anggaran untuk kenaikan anggaran yang berkaitan dengan subsidi dan sebagainya, misalnya seperti itu," kata Hadiyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/3/2022).

Baca juga: Sri Mulyani Yakin, Defisit Fiskal Tahun Ini Cuma 4 Persen

Dia berharap, konsolidasi fiskal bisa berjalan di tengah risiko-risiko tersebut. Di samping itu, pihaknya bakal memaksimalkan penerimaan negara dengan mengakurasi perencanaan penerimaan, mengoptimalkan belanja, dan menargetkan pembiayaan yang pragmatis.

Pun akan memanfaatkan Sisa Lebih Anggaran (SAL) dan SiLPA agar memperkecil penerbitan surat utang.

"Dan itu sudah kita rintis, bahkan di 2021, capaiannya di bawah target defisit jadi itu semakin membaik. Dan di 2022 sudah mulai mendekati 3 persen, sehingga besaran defisit di 2023 akan di bawah 3 persen," beber Hadiyanto.

Lebih lanjut dia menjelaskan, ada dua strategi yang ditetapkan untuk menjalankan konsolidasi fiskal.

Baca juga: Perang, Pandemi, dan Ekonomi Roller Coaster Menurut Sri Mulyani

Pertama adalah menambah penerimaan negara (collect more) melalui instrumen pajak dan turunannya. Hadiyanto mengungkapkan, adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mampu meningkatkan basis pajak (tax based).

UU tersebut mengatur peningkatan pajak untuk orang kaya dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar/tahun. Orang-orang tajir ini akan dipajaki dengan tarif PPh final paling tinggi, yakni 35 persen.

"Demikian juga ada pajak baru, tax based-nya diperluas, serta intensifikasi sehingga diharapkan tren penerimaan perpajakan akan semakin baik," bebernya.

Kedua, penganggaran belanja yang lebih baik (spending better). Belanja ini diarahkan pada belanja yang mendukung pembangunan, serta sesuai dengan program kerja dan output outcome.

"Mungkin di perlinsos yang masih perlu ada penguatan di situ, belanja K/L lebih strenghten lagi dengan alignment antara program dan output outcome-nya, dan kita bisa kendalikan SiLPA dan SAL yang akan berdampak pada SAL akhir tahun," tandas Hadiyanto.

Baca juga: Defisit APBN 2022 Diproyeksi Lebih Rendah, Ini Sebabnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com