Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Urgensi Ketentuan "Windfall Profit Tax"

Kompas.com - 22/03/2022, 11:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANDEMI dan perang menyuguhkan berbagai kenyataan yang sulit kita prediksikan sebelumnya. Saat awal pandemi Covid-19 mendera, kondisi ekonomi kita dan dunia bagaikan terkurung awan gelap.

Resesi yang berlangsung cukup lama mengakibatkan berbagai harga komoditas strategis dunia jatuh ke titik nadir. Bahkan minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) pada April 2020 terjun bebas hingga menyentuh harga minus, karena harga pembelian dikontrak berjangkanya lebih tinggi dari harga pengiriman di April 2020. Musababnya karena kelebihan stok akibat roda ekonomi terhenti.

Sebaliknya dipenghujung tahun 2021 hingga kini harga komoditas utama dunia terus meroket. Ditambah dengan ketegangan di berbagai kawasan, khususnya Ukraina mengakibatkan banyak negara berburu untuk stoknya masing-masing. Dampaknya terjadi over demand. Pemberian sanksi oleh sekutu terhadap Rusia yang melarang pembelian minyak dan gas (migas) makin membuat harga migas kian “membara”.

Baca juga: Harga Komoditas Melonjak, Angin Segar bagi Perusahaan Tambang

Beberapa saat yang lalu kita juga dibuat gelagapan ketika stok batu bara PLN menipis, padahal ada ketentuan Domestic Market Obligation (DMO). Banyak perusahaan batu bara tidak mematuhi ketentuan DMO, produsen batu bara memilih menjual keluar (ekspor) karena menjanjikan harga yang jauh lebih tinggi. Beruntung Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera turun tangan, hingga pasokan batu bara ke PLN aman.

Kejadian yang sama pada sektor komoditas tetap berulang. Rakyat kita dihadapkan kenyataan pahit harga minyak goreng (migor) meroket, bahkan hilang di pasaran. Namun saat harga jual eceran (HET) yang ditetapkan pemerintah dicabut, bak sulapan, tiba-tiba stok migor membanjiri toko dan pasar. Namun harganya menguras kantong.

Pangkal soalnya kebijakan DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) untuk CPO (Crude Palm Oil) bahan baku migor tidak ditegakkan dengan baik. Harga CPO yang meroket karena demand di pasar internasional naik. Stok CPO yang terbatas, dan harga di pasar ekspor tinggi, akibatnya perusahaan sawit memilih mengirim jatah DMO ke pasar ekspor.

Perusahaan migor menimbun migor. Kelangkaan migor bikin panik rakyat. Pemerintah seolah tak punya pilihan, akhirnya melepas kebijakan HET, akibatnya harga migor melambung.

Praktik windfall tax

Kisah di atas memberi pelajaran penting tentang bagaimana negara merumuskan kebijakan jika ada perusahaan mendapatkan “rezeki nomplok” tetapi beresiko terhadap hajat hidup orang banyak. Bahkan dalam kasus yang terlihat sepele, kebijakan windfall profit tax (pajak rezeki nomplok) dapat diterapkan terhadap individu yang mendadak menjadi kaya karena menerima uang dalam jumlah besar dari hadiah, warisan, game show, judi, atau menang lotre (Johnson, 2020).

Tahun 1980 saat booming migas, Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter (dari Partai Demokrat) memberlakukan windfall profit tax. Kita ketahui pendekatan Partai Demokrat lebih progresif dalam ketentuan pajak. Tahun 1988 kebijakan ini kemudian dibatalkan oleh Presiden Ronal Reagen dari Partai Republik yang lebih memuja kebebasan pasar.

Baca juga: Mendag Tanyai Ibu-ibu Harga Minyak Goreng: Terjangkau Nggak Sekarang?

Pemerintah Inggris termasuk negara yang pernah menjalankan windfall profit tax. Tahun 1997, saat Perdana Menteri Tony Blair dari Partai Buruh memimpin pemerintahan, Inggris  memberlakukan kelonggaran kebijakan privatisasi pada sektor utilitas. Akibat privatisasi ini banyak perusahaan utilitas memperoleh keuntungan jumbo akibat underpricing saham.

Terbaru, kebijakan pemberlakukan windfall profit tax diberlakukan oleh Parlemen Uganda setelah merevisi Undang-Undang Pajak Penghasilan pada tahun 2021. Skema windfall profit tax, minyak mentah dengan harga di atas 75 dollar AS per barrel akan dikenai tarif retribusi sebesar 15 persen. Tarif retribusi tersebut berbeda dengan tarif pajak perusahaan, yang dikenakan dengan tarif 30 persen.

Tahun 2021, Malaysia juga telah memberlakukan ketentuan windfall profit tax untuk menambah pendapatan mereka di tahun 2022 ini. Malaysia memberlakukan kenaikan tarif pajak atas pendapatan perusahaan dari 24 persen menjadi 33 persen terhadap perusahaan yang pendapatannya mencapai lebih dari 100 juta ringgit.

Meski belum diberlakukan, Partai Buruh, partai oposisi di Inggris mendesak Perdana Menteri Inggris untuk kembali memberlakukan windfall profit tax. Partai Buruh menyerukan windfall profit tax untuk minyak dan gas Laut Utara Inggris demi menyokong lebih banyak pemberian bantuan kepada keluarga kurang mampu di tengah tantangan kenaikan tagihan energi.

Kalkulasi kebijakan windfall profit

Wacana penerapan windfall profit tax pernah muncul tahun 2008. Saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla mewacanakan penghapusan penerapan cost and recovery pada operator hulu migas. Namun wacana itu berlalu tanpa kepastian hukum, yang seharusnya tertuang dalam undang-undang. Besar kemungkinan kebijakan itu ditolak operator migas karena merasa lebih nyaman dengan skema cost and recovery.

Seiring perjalanan waktu, kita memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU HPP ini memberlakukan pengenaan tarif pajak orang pribadi secara berjenjang, antara 5 sampai 35 persen berdasarkan tingkatan penghasilan wajib pajak.

Baca juga: Kala Sri Mulyani Sebut Luhut Menteri Paling Tajir yang Kena Tarif Pajak Penghasilan 35 Persen

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com