Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani Ungkap Adanya "Badai" yang Bikin Pemulihan Ekonomi Makin Pelik

Kompas.com - 22/03/2022, 15:20 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyoroti peliknya pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 karena tensi geopolitik antara Rusia-Ukraina.

Konflik antar dua negara itu terjadi ketika dunia masih tertatih-tatih menghadapi pemulihan ekonomi. Ditambah lagi, banyak negara yang memiliki ruang fiskal terbatas untuk mengatasi ketidakpastian global. Kondisi ini lantas dijuluki Sri Mulyani sebagai "badai sempurna".

"Jadi ini kayak semacam perfect storm, kalau (ibaratnya) badai, badai ketemu semuanya. Ada masalah geopolitik security, kemudian muncul ke komoditas, pada saat ekonomi baru tertatih-tatih pulih dari pandemi, belum kuat banget," kata Sri Mulyani dalam CNBC Economic Outlook, Selasa (22/3/2022).

Baca juga: Tarif PPN Bakal Naik Jadi 11 Persen, Sri Mulyani: Rata-rata di Dunia Sudah 15 Persen

Wanita yang kerap disapa Ani itu menuturkan, fenomena perang membuat harga komoditas naik ke level yang sangat tinggi. Pemerintah Indonesia sendiri berpotensi menanggung beban pembengkakan subsidi energi akibat naiknya harga minyak dan gas.

Di sisi lain, beberapa harga komoditas sudah terpantau naik jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Harga kedelai misalnya, mengalami kenaikan karena terjadi gagal panen di Brazil akibat kekeringan.

"Komoditas untuk oil dan gas serta listrik itu adalah administered price (komponen harga bergejolak). Pilihannya adalah kalau shock dari kenaikan bahan bakunya ini diteruskan ke masyarakat, naiknya tinggi langsung jeblok konsumsinya. Maka sampai hari ini listrik tidak naik," tutur Ani.

Baca juga: Sri Mulyani soal Kenaikan PPN: Bukan untuk Menyusahkan Rakyat

Tingginya harga-harga komoditas memiliki konsekuensi terhadap instrumen fiskal. Jika kenaikan harga tidak diteruskan ke level konsumen, pemerintah harus menggelontorkan lebih banyak biaya untuk subsidi maupun bansos demi menjaga daya beli.

"Namun dalam situasi ini, banyak negara yang fiscal space-nya sudah mentok, ada yang utangnya sudah di 100 persen dari GDP. Jadi banyak negara sekarang dihadapkan pada fenomena," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengakui Kementerian Keuangan sudah menghitung dampak tensi geopolitik terhadap APBN. Perhitungan disertai dengan berapa lama asumsi kenaikan harga pangan terjadi, mulai dari rentang 6 bulan sampai 12 bulan.

Dia bilang, perhitungan dilakukan meski dunia tidak bisa mengestimasi kapan perang antara Rusia dan Ukraina berhenti. Tapi setidaknya, langkah tersebut menjadi langkah antisipasi dan meningkatkan rasa optimistis.

"Tidak berarti kita harus hopeless, tidak berdaya dan tidak punya harapan dalam hal ini, enggak juga. Kita tetap membuat berbagai skenario, seandainya ini 6 bulan, kemudian harga komoditas turun ke normal lagi, atau kalau ini 12 bulan, dan bentuknya akan seperti apa," beber dia.

Baca juga: Jokowi: IKN Nusantara Akan Jadi Motor Inovasi Pembangunan Ekonomi Masa Depan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com