KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Belajar dari Kegagalan

Kompas.com - 26/03/2022, 08:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK orang berusaha menghindari kegagalan. Dalam organisasi pun begitu. Saat terjadi kegagalan, banyak orang kemudian mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Kegagalan dianggap seperti aib dan jarang dibahas secara positif.

Setiap dari kita pasti pernah mengalami setidaknya satu kegagalan dalam hidup ini. Apalagi, mereka yang menjalankan bisnis.

Padahal, kegagalan seharusnya masuk pada salah satu agenda bisnis karena statistik menunjukkan bahwa 90 persen dari bisnis baru mengalami kegagalan dalam jangka waktu 5 tahun. Bisa dibayangkan, bila kita terpuruk jatuh karena satu kegagalan, bisa-bisa dunia ini penuh dengan orang yang terpuruk.

Dalam setiap kegagalan, kita memiliki kecenderungan mencari siapa yang bertanggung jawab, untuk kemudian disudutkan.

Baca juga: Mengembangkan Organizational Intelligence

Sikap dan reaksi seperti itu dapat menyebabkan orang takut melakukan tindakan. Mereka takut gagal dan jadi lebih berhati-hati.

Namun, seberapa sering kita mempelajari apakah kesalahan yang terjadi itu memang seperti adanya? Ataukah hal itu merupakan puncak dari sebuah gunung es yang di bawahnya terdapat lebih banyak lagi masalah. Kalau tidak ditangani dengan segera, masalah tersebut akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar, kan?

Misalnya, seorang sopir mengalami kecelakaan. Ia bisa dipersalahkan karena tidak sigap menginjak rem.

Bila selesai sampai di situ saja, kita akan melewatkan fakta bahwa sopir tersebut mengalami kelelahan akibat jam kerja berkepanjangan yang disebabkan mismanagement dari atasannya yang tidak kompeten, tetapi memiliki hubungan baik dengan pemilik perusahaan.

Mismanagement seperti itu bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan kecelakaan yang lebih besar lagi pada masa mendatang.

Baca juga: Evaluasi Diri

Ada manajemen sebuah hotel terkenal yang memiliki kebiasaan berbeda. Bila biasanya kita mengenal hall of fame atau tembok yang berisi foto orang-orang yang sukses dan berhasil membuat inovasi terpanjang, di hotel ini justru ada hall of failure yang memampang sosok-sosok yang pernah mengalami kegagalan di lingkungan hotel.

Dari sana, kita melihat ada kebiasaan memandang kegagalan secara berbeda. Saat organisasi lain memandang kegagalan sebagai hal yang negatif, hotel tersebut justru merayakannya.

Kita juga melihat kisah sukses pemimpin-pemimpin besar organisasi maupun dunia, yang tidak luput dari kisah-kisah kegagalan. Mulai dari yang mengalami drop out sekolah, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), sampai keterpurukan bisnis.

Bisa dikatakan, justru kegagalanlah yang membentuk mereka hingga dapat mencapai kesuksesan.

Jadi, sebenarnya pola pikir mengenai kegagalan perlu ditinjau kembali. Pertama, kegagalan tidak selalu buruk. Kita mengalami krisis ekonomi yang mengancam perkembangan bisnis kita, perubahan peraturan pemerintah, kekurangan sumber daya yang dapat diandalkan, dan lainnya.

Baca juga: Memupuk Tanggung Jawab dalam Diri

Namun, belum tentu kejadian-kejadian itu berakibat buruk. Bisa saja hal ini merangsang perubahan dan mendorong lahirnya inovasi-inovasi.

Kedua, belajar dari suatu kesalahan perlu ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan. Analisis kegagalan yang bunyinya hanya “lalai menjalankan prosedur” atau bahkan mencari pembenaran seperti “pasar belum siap menerima produk kita”, tidak membawa manfaat apa-apa bila tidak dikukuhkan dengan suatu prinsip dan tindak perbaikan.

3 kategori kegagalan

Sebenarnya, kita dapat menggolongkan kesalahan ke dalam tiga kategori.

Pertama, kesalahan yang seharusnya dapat dicegah. Contohnya, pelanggaran prosedur, ketidakpatuhan terhadap disiplin yang sudah digariskan, dan ketidakmampuan menjalankan tata laksana yang sudah jelas.

Dalam hal itu, manajemen perlu meninjau kembali standar prosedur yang ada beserta perangkat penunjangnya untuk menghindari kesalahan terjadi lagi. Setelah itu, lakukan perbaikan prosedur yang benar-benar dapat menghindari kesalahan serupa pada kemudian hari.

Baca juga: Lead Differently, Think Differently

Kedua, kegagalan yang complexity related. Pada kasus kecelakaan pesawat, masalah baru terpecahkan dalam waktu yang lama.

Bahkan, waktu yang dibutuhkan berbulan-bulan atau tahunan untuk sampai pada kesimpulan penyebab pasti musibah. Ini mengingat, banyaknya unsur yang terlibat di dalamnya, mulai dari unsur manusia, kecanggihan teknologi, hingga unsur-unsur di luar kontrol manusia, seperti cuaca.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman
Perlu penelaahan yang mendalam sebelum menarik kesimpulan yang tepat.

Terburu-buru menarik kesimpulan akan membawa kita pada solusi yang tidak tepat untuk mencegah kegagalan di masa depan.

Ketiga, kegagalan yang cerdas. Organisasi yang cerdas memang sudah mengantisipasi kegagalan yang berguna untuk mendapatkan pengetahuan baru dan belum ada best practice-nya selama ini.

Kegagalan dalam hal ini dibutuhkan untuk menyongsong pengembangan masa depan. Profesor Sim Sitkin menyebutnya sebagai intelligent failures.

Baca juga: Hubungan Mentor-Mentee

Beragam penemuan baru di bidang kesehatan, pengobatan, dan teknologi pasti melalui serangkaian trial and error yang dilakukan para peneliti dan pengembang produk di organisasi tersebut.

Dari situlah, kegagalan membudaya dan dianggap sebagai upaya kemajuan. Perusahaan seperti IDEO yang bergerak di sektor konsultasi desain di Amerika Serikat (AS) semenjak awal memang menawarkan inovasi, bahkan menjadikan sikap ini sebagai salah satu kompetensi utamanya.

Lingkungan kerja yang psychologically safe

Tentunya tidak semua jenis bisnis bisa memiliki ideologi seperti perusahaan IDEO: fail often in order to succeed sooner.

Namun, perusahaan bisa membangun semangat untuk berani mencoba, bereksperimen, dan terus mencari cara baru yang lebih baik di antara insan-insannya. Pimpinan perusahaan selalu harus menekankan, “We’re in the discovery business, and the faster we fail, the faster we’ll succeed.”

Baca juga: Mendesain Strategi Upskilling

Perusahaan dengan budaya pembelajar yang menganggap kegagalan adalah materi pembelajaran bisa melawan budaya mencari kambing hitam.

Mereka tidak lekas memalingkan muka pada kegagalan, tetapi justru mempelajarinya dengan saksama dan kontekstual, sehingga pelajaran yang didapat dari kegagalan akan optimal.

Mengutip Denis Waitley, kegagalan seharusnya menjadi guru kita, bukan sesuatu yang menentukan hidup kita. Kegagalan adalah penundaan, bukan kekalahan. Ini jalan memutar sementara, bukan jalan buntu. Kegagalan adalah sesuatu yang dapat kita hindari hanya dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com