Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tukar Menukar Aset Kripto Kena "Dobel Pungutan" PPh dan PPN, Ini Alasan Ditjen Pajak

Kompas.com - 08/04/2022, 06:15 WIB
Fika Nurul Ulya,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memajaki aset kripto mulai 1 Mei 2022. Pajak aset kripto ini berupa PPh pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Hal ini diatur dalam PMK Nomor 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto sebagai aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

PPh pasal 22 dipungut dari penjual aset kripto, sementara PPN dipungut dari pembeli aset kripto. Pemungutan pajak dilakukan oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang memfasilitasi transaksi jual beli aset kripto.

Baca juga: Aturan Baru Pajak Transaksi Aset Kripto: Kena PPN dan PPh 22 Mulai 1 Mei 2022

Tukar menukar aset kripto kena pajak dobel, mengapa begitu?

Adapun aset kripto yang terkena PPN adalah jual beli mata kripto dengan mata uang fiat, tukar-menukar kripto dengan aset kripto lainnya (swap), dan tukar-menukar kripto dengan barang selain aset kripto dan/atau jasa lainnya.

Jika penjual kripto dikenakan PPh dan pembeli dikenakan PPN saja, pajak tukar-menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya berbeda. Masing-masing pihak akan dikenakan PPN dan PPh oleh PMSE alias pedagang fisik aset kripto.

Mengapa begitu?

Baca juga: Aset Kripto Kena Pajak, Ini Tanggapan Marketplace Kripto

Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung menyatakan, semua penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan Barang Kena Pajak (BKP), ada terutang PPN.

Dalam konteks tukar-menukar, masing-masing pihak memiliki dua fungsi, yakni sebagai penjual sekaligus pembeli. Oleh karena itu, PPN dan PPh dikenakan kepada dua belah pihak. Penyerahan BKP/JKP terutang PPN ini bahkan sudah diatur dalam UU sebelumnya, yakni UU PPN.

"Dan UU atur seperti itu Bapak Ibu, jadi jangan kesannya kok (kena) dua kali. Enggak, karena pengenaan (pajak hadir) di setiap penyerahan," kata Bonarsius dalam media briefing, dikutip Kompas.com dari Youtube DJP, Jumat (8/4/2022).

Baca juga: Contoh Perhitungan Pajak Kripto, Ini Cara Hitung PPh dan PPN Aset Kripto

Dia menjelaskan, penyerahan terjadi karena berbagai macam cara, baik penyerahan karena jual beli atau tukar-menukar. Ia mencontohkan, Tuan A menjual mobil bekas kepada tuan B, sehingga pungutan PPN dikenakan kepada Tuan B.

Lalu, Tuan B membayar mobil bekas dengan sebuah arloji alias terjadi transaksi tukar barang. Pemungutan PPN pun berlaku pada Tuan A yang notabene menerima arloji tersebut.

"Jadi di waktu yang sama saya punya 2 fungsi penjual mobil dan pembeli untuk arloji. Demikian juga dengan kripto (bitcoin), ketika ditukar dengan ethereum," beber dia.

"Ketika (pihak pertama) serahkan ethereum lewat market, dan saya serahkan kripto (bitcoin) lewat market, maka akan terutang dua-duanya, karena ada penyerahan di sini," tambahnya.

Baca juga: Aturan Pajak Kripto Indonesia Terbit, Ini Ragam Tarif PPN Aset Kripto

Alasan pedagang fisik aset kripto kenakan PPN dan PPh ke penjual dan pembeli

Lebih lanjut dia menjelaskan, pengenaan ini dilakukan oleh pihak fasilitator atau penjual fisik aset kripto.

Pasalnya, penjual memiliki kontrol penuh atas dua hal, yakni payment gateway atau dompet digital (e-wallet) sebelum dana masuk kepada masing-masing pihak, serta data penjualan dan pembelian.

"Dalam konteks pemajakan, dua unsur ini adalah syarat utama agar pemajakan bisa dilancarkan. Makanya dalam PPN isu jual beli itu tidak terlalu dan serta-merta dibatasi hanya dengan jual beli. Tapi ketika ada pertukaran pun, itu sudah dianggap penyerahan sesuai UU," tandasnya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com