Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset: 70 Persen Perusahaan Keluarga di RI Tidak Bertahan hingga Generasi Kedua

Kompas.com - 18/04/2022, 16:30 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Riset Daya Qarsa menemukan 95 persxen perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan keluarga yang berkontribusi sebesar 82 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dan memberikan 40 persen kontribusi terhadap kapitalisasi pasar di Indonesia.

Dalam riset yang dituangkan dalam buku berjudul "Bangkit Setelah Pandemi: Mengembalikan Kesuksesan Perusahaan Keluarga Setelah Pandemi Covid-19", Daya Qarsa menemukan sebanyak 70 persen perusahaan keluarga di Indonesia tidak mampu bertahan hingga generasi kedua.

“Hanya sekitar 30 persen dari perusahaan keluarga yang mampu bertahan hingga generasi kedua, bahkan hanya sekitar 13 persen perusahaan keluarga di Indonesia yang dapat bertahan hingga generasi ketiga,” kata Founder & Managing Partner (CEO) Daya Qarsa Dr Apung Sumengkar secara virtual, Senin (18/4/2022).

Baca juga: PresUniv ICFBE 2021: Perusahaan Keluarga Masih Mendominasi Perekonomian Dunia

Dia menjelaskan, persentase yang kecil ini menunjukkan rintangan yang besar dalam menjaga keberlangsungan bisnis keluarga jumlah perusahaan keluarga di Indonesia. Padahal, perusahaan keluarga adalah salah satu harapan untuk merealisasikan potensi ekonomi Indonesia.

Adapun potensi ekonomi Indonesia diprediksi akan bertumbuh tiga sampai empat kali dalam lima sampai 10 tahun ke depan, yang merupakan di atas rata-rata global.

“Berdasarkan survei kami, rintangan tersebut diperparah dengan adanya Covid-19, dimana 47 persen responden menganggap pandemi Covid-19 sebagai kekhawatiran utama perusahaan keluarga saat ini,” lanjut Apung.

Baca juga: Sederet Fakta Soal Perebutan Warisan Generasi Kedua Sinar Mas

Apung merinci, ada empat tantangan utama yang dihadapi oleh perusahaan keluarga, salah satunya adalah banyak perusahaan keluarga mengalami penurunan bisnis secara signifikan dan kesulitan dalam bertransformasi digital.

Menurut dia, hal ini terjadi karena kondisi keuangan perusahaan di masa pandemi yang membuat pendapatan menurun, sehingga tidak memungkinkan perusahaan untuk bertransformasi digital.

“Pada akhirnya, membuat perusahaan kesulitan untuk menjangkau pelanggan yang saat ini sudah ramai berselancar di saluran digital. Sementara itu, pelayanan kepada konsumen yang masih belum terdigitalisasi dan mengandalkan proses manual pun memakan biaya yang lebih besar,” jelasnya.

Baca juga: Bumi Resources di Bawah Kendali Generasi Ketiga Keluarga Bakrie

Selain itu, sistem kerja dan infrastruktur yang masih manual menyebabkan ketidaksiapan karyawan untuk menunjang kerja jarak jauh di masa pandemi.

Hal ini terjadi akibat pemimpin perusahaan keluarga yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya transformasi digital yang berdampak kepada lambatnya strategi digitalisasi perusahaan.

“Pemimpin perusahaan juga masih kurang memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung proses operasional sehari-hari,” tambah Apung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com