Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kudu Insight
Riset dan analisis

Kudu Insight merupakan kolaborasi Kompas.com dan Kudu, periset dan pengolah data. Kudu Insight menyajikan kajian, analisis, dan visualisasi olah data digital atas fenomena dan peristiwa yang mencuat di publik dan ranah digital.

Ekonomi Mudik: Rahasia Relasi Upah Minimum dan Pengeluaran Per Kapita

Kompas.com - 05/05/2022, 19:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Nurvirta Monarizqa, Ingki Rinaldi, & Palupi Annisa Auliani

PANDEMI memperlihatkan gelagat mereda di Indonesia pada 2022. Idul Fitri 1443 H pun mulai kembali terasa mendekati laiknya masa-masa sebelum pandemi. Mudik termasuk di antara yang kembali pada tahun ini.

Dengan bumbu cerita macet di sejumlah simpul, diizinkannya kembali mudik pada Lebaran 2022 diharapkan membawa dampak positif bagi perekonomian. Tak hanya rindu dan permaafan yang berjejalan saat mudik bisa dilakukan lagi, ekonomi pun butuh menggeliat sama kuatnya.

Baca juga: Ada Mudik dan Lebaran, Ekonomi RI Kuartal II Diproyeksi Tembus 5 Persen

Ekonomi daerah diharapkan turut berputar lagi seturut mobilitas jutaan orang, yang juga tak melulu umat Islam itu. Konsumsi publik, dari mereka yang mudik dan para penyambutnya di kampung halaman, memikul asa perputaran sekaligus pemerataan ekonomi bersama semua yang dilintasi arus pemudik.

Kelompok urban yang setidaknya setiap lebaran melakukan tradisi mudik harus diakui tampak seolah punya taraf ekonomi yang lebih sejahtera. Mudik diharapkan menjadi gerbong pembawa asa pemerataan geliat ekonomi agar tak hanya berpusar di Ibu Kota dan kawasan di sekitarnya.

Benarkah demikian? Bagaimana logika dan rahasia data ekonomi mudik ini? 

Kudu menganalisis besaran dan sebaran upah minimum provinsi (UMP) untuk melihat data dari mereka yang mudik dan mereka yang berada di lokasi tujuan mudik, atau bahkan di lokasi mereka yang tidak menjadi asal dan tujuan mudik sekalipun. 

Harapannya, analisis ini membantu kita lebih jernih melihat seberapa besar dampak ekonomi dari setiap UMP dan dampak yang mungkin ditimbulkan darinya.

Baca juga: Erick Thohir: Lonjakan Pemudik dan Logistik Bangkitkan Ekonomi Nasional

 

Pun, analisis Kudu juga diharapkan membantu kita melihat korelasi antara UMP dan ketercukupan setiap penerima upah ini bagi kualitas kesejahteraaan dan kehidupannya di keseharian. 

UMP dan kesejahteraan

UMP dapat dikaitkan dengan tingkat konsumsi publik. Besaran UMP berbeda di tiap provinsi. Korelasi UMP dan tingkat konsumsi dapat ditakar lewat konsep dan data pengeluaran individu atau per kapita.

Studi yang dilakukan Edgar Vidyatama dan Eny Sulistyaningrum (2021), misalnya, menemukan pengaruh upah minimum terhadap pengeluaran individu. Namun, upah minimum didapati tidak berkorelasi dengan tingkat pekerjaan. 

Baca juga: Daftar Upah Minimum di Jabodetabek, Mana yang Paling Cuan?

Dalam penelitian Vidyatama dan Sulistyaningrum tersebut, sebagian kesimpulan yang didapat adalah upah minimum dapat menjadi instrumen bagi pemerintah untuk mendorong tingkat konsumsi individu tanpa perlu mengkhawatirkan tingkat pekerjaan.

Meski demikian, ada sejumlah keadaan khusus yang mesti disigi dari aspek UMP dalam hal keterkaitannya dengan pengeluaran per kapita di setiap provinsi.

Sigi lebih lanjut ini terutama diperlukan ketika asumsi yang digunakan adalah UMP diterima oleh satu-satunya orang yang berpenghasilan atau menerima upah di dalam keluarga. Dengan kata lain, asumsi yang digunakan di sini adalah penerima UMP merupakan individu yang memiliki sejumlah tanggungan.

Kenaikan UMP lebih besar

Berdasarkan data yang dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan UMP tercatat cenderung lebih tinggi dibanding kenaikan pengeluaran per kapita pada kurun 2011-2021. 

Pada 2021, misalnya, UMP secara nasional naik 2,7 kali dibanding pada 2011. Lalu, pada periode yang sama, pengeluaran per kapita naik 2,1 kali. Visualisasi berikut ini memperlihatkannnya.

UMP Vs Pengeluaran Per Kapita, Rata-rata NasionalKUDU/NURVIRTA MONARIZQA UMP Vs Pengeluaran Per Kapita, Rata-rata Nasional

Namun, saat data disigi lebih lanjut, terdapat perbedaan detail di tiap provinsi. Ada sebagian provinsi yang sekalipun mencatatkan kenaikan UMP dari waktu ke waktu tetapi memperlihatkan pengeluaran per kapita warganya relatif besar pula. 

Data ini membuat sejumlah provinsi dengan besaran UMP tertentu memberikan sumber pendapatan tunggal yang relatif cukup bagi sebuah keluarga.

Sebaliknya, provinsi lain dengan besaran UMP-nya kedapatan tidak menjadi sumber pendapatan yang mampu menutup biaya konsumsi sebuah keluarga. 

Baca juga: Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa

Kudu membandingkan data BPS pada 2011 dan 2021 untuk menyigi komparasi antara besaran UMP dan ketercukupan pemenuhan biaya konsumsi para penerima UMP.

Tiap provinsi menampilkan data yang berbeda, yang ini terkait pula dengan kondisi harga di wilayah setempat dari tahun ke tahun. Kondisi ekonomi dan laju inflasi turut berpengaruh pula pada temuan ini. 

Sebagaimana dikutip dari pemberitaan Kompas.com, inflasi pada 2011 adalah 3,79 persen. Lalu, berturut-turut 4,3 persen pada 2012, 8,38 pada 2013, 8,36 persen di 2014, 3,35 persen  pada 2015, 3,02 persen di 2016, 3,61 persen pada 2017, 3,13 persen pada 2018, 2,72 persen pada 2019, 1,68 persen pada 2020, dan 1,87 persen di 2021.

UMP vs pengeluaran

Pada 2011, pengeluaran per kapita di Jakarta tercatat Rp 1.355.688. Besaran ini sedikit melebihi UMP yang kala itu senilai Rp 1.290.000.

Lalu, pada 2021, UMP DKI Jakarta tercatat Rp 4.416.186. Pada tahun itu, UMP DKI Jakarta merupakan yang tertinggi, dengan nilai yang juga jauh melampaui pengeluaran per kapita Rp 2.336.429.

Artinya, pada 2021, seseorang denagn upah minimum dapat menghidupi dirinya sendiri dan masih punya peluang menabung sekitar Rp 2 juta. Tentu, ini dalam kerangka asumsi pengeluarannya ada di takaran rata-rata.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com