Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BI: Ekonomi Bisa Tumbuh 4,5-5,3 Persen, Tapi Tergantung Ketepatan Normalisasi Kebijakan

Kompas.com - 13/05/2022, 19:29 WIB
Fika Nurul Ulya,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia terakselerasi tahun ini di kisaran 4,5-5,3 persen (yoy).

Pasalnya, ekonomi menunjukkan pemulihan dengan pertumbuhan mencapai 5,01 persen (yoy) di kuartal I 2022. Pulihnya daya beli masyarakat dan sektor korporasi diyakini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun 2022.

"Ini memberikan harapan adanya perbaikan ekonomi dan kita masih sangat optimis dan confident bahwa perekonomian Indonesia tahun 2022 ini dapat tumbuh di range 4,5-5,3 persen," kata Destry dalam Peluncuran Buku Kajian Kebijakan Stabilitas Keuangan Nomor 38 di Jakarta, Jumat (13/5/2022).

Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5 Persen, BI Yakin Bank Makin Gencar Salurkan Kredit

Namun kata Destry, akselerasi pertumbuhan ekonomi akan bergantung pada ketepatan waktu dalam menormalisasi kebijakan moneter.

Menurut dia, normalisasi kebijakan yang terlalu prematur akan sangat berisiko bagi pemulihan ekonomi dan sektor keuangan. Namun bila terlalu lambat, akan berdampak pada akselerasi risiko makro yang lebih cepat.

"Oleh karena itu harus tepat. Untuk itu, BI bersama pemerintah dan otoritas terkait, kita akan terys menjaga momentum pemulihan melalui penguatan dan sinergi dalam bauran kebijakan ekonomi nasional," ucap dia.

Baca juga: Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,01 Persen, Menko Airlangga: Tak Lagi Disokong Belanja Pemerintah

Di sisi lain, normalisasi perlu dilakukan lantaran Indonesia dan dunia menghadapi tiga tantangan.

Tiga tantangan tersebut, yakni normalisasi kebijakan moneter di negara maju, adanya dampak dari pandemi di sektor riil, dan berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dengan Ukraina.

Secara global, tantangan tersebut berdampak pada tingkat inflasi yang kuat. Beberapa negara akhirnya mengimbangi dengan melakukan normalisasi kebijakan yang agresif, yakni meningkatkan suku bunga kebijakan dan mengurangi likuiditas di sektor keuangan.

"Hal ini memberikan ketidakpastian lebih lanjut, dengan semakin terbatasnya aliran modal ke emerging market termasuk ke Indonesia," sebut Destry.

Indonesia sendiri kata Destry, masih merasakan efek memar atau scaring effect sebagai dampak pandemi berkepanjangan dari tahun 2020.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan otoritas yang dikalibarasi secara baik (well calibrated), direncanakan secara baik (well planned), dan dikomunikasikan secara tepat (well communicated).

"Berbagai tantangan masih akan mewarnai pemulihan ekonomi global dan domestik ke depan. Oleh karena itu perlu exit strategy & timing yang tepat dari normalisasi kebijakan," tandasnya.

Baca juga: Klaim Ekonomi RI Kalahkan China, Singapura hingga AS, Airlangga: Hanya di Bawah Vietnam...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com