Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Lapor Harta Tahun 1983-2015 di PPS Tapi Tak Ikut Tax Amnesty Jilid I, Begini Solusinya

Kompas.com - 03/06/2022, 16:50 WIB
Fika Nurul Ulya,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Program Pengungkapan Sukarela (PPS) masih berlangsung hingga 30 Juni 2022. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkali-kali mengimbau wajib pajak (WP) untuk mengikuti program ini sebelum ditutup agar tak kena sanksi.

Untuk mengikuti program, ada dua kebijakan yang bisa dipilih WP sesuai kondisi hartanya, yakni kebijakan I dan kebijakan II dengan tarif PPh final yang berbeda-beda.

Kebijakan I bisa dimanfaatkan oleh WP yang sudah mengikuti tax amnesty tahun 2016 baik untuk WP badan maupun orang pribadi (OP). Harta yang dilaporkan pada PPS kebijakan I ini adalah harta perolehan tahun 1983-2015 yang belum dilapor dalam tax amnesty 2016.

Baca juga: Sudah 58.790 Wajib Pajak Ungkap Harta di PPS, Totalnya Rp 120,02 Triliun

Sementara kebijakan II bisa dimanfaatkan oleh WP OP saja, baik peserta tax amnesty tahun 2016 atau non peserta tax amnesty dengan waktu perolehan harta pada tahun 2016-2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Lantas, bagaimana jika ingin melaporkan harta namun tidak terakomodasi dalam dua kebijakan tersebut?

Kepala Seksi Pengawasan III KPP Pratama Tanah Abang Tiga, Erwin Siahaan mengatakan, Wajib Pajak tetap bisa mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Misalnya, jika ada harta di bawah tahun 2015 yang belum dilaporkan, namun tidak terakomodasi dalam kebijakan I PPS karena tidak mengikuti tax amnesty tahun 2016, WP tetap bisa memilih kebijakan I.

"Ketika Bapak/Ibu mempunyai harta perolehan di bawah tahun 2015, Bapak/Ibu walaupun belum ikut tax amnesty, dipersilakan untuk mengikuti kebijakan I PPS," kata Erwin dalam Sosialisasi PPS di Jakarta, Jumat (3/6/2022).

Baca juga: Berakhir 30 Juni 2022, Begini Tata Cara, Besaran Tarif, dan Sanksi PPS

Ketentuan ini menjadi keuntungan tersendiri bagi wajib pajak. Pasalnya, tarif PPh final di kebijakan I lebih kecil dibanding kebijakan II PPS.

Dia bilang, ketentuan itu diambil untuk menyukseskan program yang dihelat pemerintah hingga Juni 2022 ini. Di sisi lain, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa depan.

"Memang untuk menyukseskan kita istilahnya diskon besar-besaran atau mengampuni besar-besaran. Jadi walaupun kebijakan I dibatasi hanya untuk WP yang telah mengikuti tax amnesty, tapi DJP mempunyai kebijakan bahwa Bapak/Ibu yang ingin mengikuti PPS kebijakan I, silakan," ucap Erwin.

Namun kata Erwin, perlu diingat bahwa kebijakan I hanya untuk harta yang diperoleh sampai tahun 2015. Untuk harta perolehan tahun 2016-2020, WP harus mengikuti kebijakan II.

"Ketika harta tadi dibeli ada bukti pembelian, perolehan, dan memang hartanya dibeli setelah 2016-2020, maka Bapak/Ibu bisa ikuti kebijakan II untuk PPS," jelas Erwin.

Berikut ini ragam jenis tarif di 2 kebijakan berbeda dalam PPS:

  • Kebijakan I

Kebijakan I bisa dimanfaatkan oleh WP yang sudah mengikuti tax amnesty tahun 2016 baik untuk WP badan maupun orang pribadi (OP). Harta yang dilaporkan pada PPS adalah harta perolehan hingga tahun 2015 yang belum dilapor dalam tax amnesty.

  1. Tarif PPh 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
  2. 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  3. 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.
  • Kebijakan II

Kebijakan II bisa dimanfaatkan oleh WP OP saja baik peserta tax amnesty tahun 2016 atau non peserta tax amnesty dengan waktu perolehan harta pada tahun 2016-2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.

  1. Tarif PPh 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
  2. 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  3. 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

Baca juga: Wanti-wanti Ditjen Pajak: Segera Ikut PPS Sebelum Harta Ditelusuri hingga Luar Negeri...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com