Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Paradok Pajak dan Demokrasi

Kompas.com - 04/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAYAKNYA tahun-tahun sebelumnya dengan justifikasi yang tak terlalu jauh berbeda, pandemi Covid-19 juga berhasil membuat rakyat mengizinkan pemerintah untuk merumuskan anggaran jauh di atas kapasitas pendapatan negara.

Rakyat menoleransi defisit dan menerima penambahan utang dengan lapang dada.

Dua tahun lalu misalnya, defisit tercatat Rp 1000 triliun lebih sedikit dan ditutup dengan utang sekitar Rp 600 triliun lebih sedikit.

Sisanya diasumsikan bisa dicari di tengah jalan via efisiensi atau mendorong penambahan pendapatan negara non pajak (PNBP), atau dari pendapatan negara yang sah lainya.

Jika tak tertutup juga, biasanya di penghujung tahun akan dikeluarkan lagi surat utang.

Mengapa rakyat harus mengizinkan? Katakanlah bahwa yang dipercaya untuk memberi ijin adalah wakil rakyat.

Karena pertama, negara kita adalah negara demokrasi. Kedua, karena jika itu ditutup pakai utang, maka akan dibayar cicilannya setiap tahun dari pendapatan negara.

Pendapatan negara dari mana? Pendapatan negara utamanya tentu saja dari pajak yang dibayar rakyat.

Jika tak cukup juga, akan ditambahkan utang baru untuk membayar cicilan atau bunga utang lama. Lagi-lagi agunannya adalah potensi pajak rakyat. Begitulah cara kerjanya.

Lantas apa yang didapat oleh rakyat yang telah membiayai negara atau menjadi tameng utang pemerintah?

Secara politik, rakyat mendapat lembaga perwakilan. Suara rakyat diasumiskan ada di dalam salah satu lembaga pemerintahan. Begitulah memang logikanya.

"Taxation" melahirkan "Representation." Berbeda dengan negara-negara kaya minyak di Arab sana, misalnya. Saat Amerika dan Inggris masuk ke sana, mereka "belaga bego," tutup mata alias menoleransi ketiadaan demokrasi, selama rakyatnya tidak dipajaki.

Formulanya, "No taxation without representation." Dan memang begitu kesepakatanya dengan dunia Arab.

Negara semacam itu mencari pemasukan sendiri, utamanya via pertambangan dan perdagangan minyak, atau via moneteisasi aset monarki.

Sebagian digunakan untuk layanan dasar secara gratis, walaupun layanan sekunder dan tertier biasanya berbayar, tapi cenderung profesional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com