AKHIR-AKHIR ini konsumen dan produsen panel surya di Amerika Serikat (AS) merasa gundah dan resah. Kegundahan dan kekhawatiran itu terjadi menyusul adanya tindakan investigasi Departemen Perdagangan AS terkait impor panel surya dari Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja yang menyumbang sekitar 80 persen dari pasokan panel surya di negara tersebut. Negeri Paman Sam khawatir bahwa produk-produk dari negara-negara tersebut mengabaikan aturan anti-dumping AS yang bertujuan untuk membatasi impor dari Tiongkok.
Dampak investigasi itu menyebabkan impor dari keempat negara pemasok energi surya tersebut dihentikan sementara sehingga mengakibatkan kesenjangan antara supply dan demand. Para pejabat industri dan aktivis lingkungan hidup mulai khawatir bahwa investigasi tersebut dapat menyebabkan malambungnya tarif yang berlaku surut hingga 250 persen.
Baca juga: Persiapan G20, 6 Lokasi di Bali Bakal Terpasang Panel Surya
Menanggapi hal tersebut Presiden AS, Joe Biden, turut campur tangan. Ia menggunakan tindakan eksekutif dan memberlakukan deferred prosecution agreement (DPA), undang-undang yang menetapkan sistem prioritas dan memberi bantuan keuangan. Hal tersebut merupakan upaya Biden untuk terus konsisten dalam menggunakan energi baru terbarukan (EBT) di AS.
Apalagi Pemerintah Presiden Joe Biden sendiri memasang target yang ambisius dalam mengurangi perubahan iklim dengan menggenjot bauran energi baru dan terbarukan. Departemen Energi AS manargetkan tenaga surya akan menyumbang sebanyak 40 persen dari pasokan listrik pada 2035 dan 45 persen pada 2050.
Kebijakan Biden tersebut merupakan bentuk konsistensi pemerintah AS dalam menggalakkan penggunaan EBT. Tanpa melangkahi proses investigasi, tetapi bahkan sambil menghormati dan menjaga jarak dari proses tersebut, Biden terus memastikan bahwa salah satu agenda utama pemerintahannya tetap berjalan.
Apa yang dilakukan Biden bisa menjadi contoh konkret bagi pemerintah Indonesia dalam terus menggalakkan penggunaan tenaga surya di Tanah Air. Pemanfaatan energi tersebut hingga kini masih jauh panggang dari api. Bertolak belakang dengan posisi strategis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, yang notabene melimpah ruah akan energi matahari selama 12 jam dalam sehari, tetapi penggunaannya masih sangat minim.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi surya di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp. Pemerintah juga menargetkan kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 3,61 GW hingga 2025, pemasangan utilitas PLTS skala besar hingga 4,68 GW hingga 2030. Selain itu juga melakukan pengembangan PLTS terapung hingga 26,65 GW di 271 lokasi.
Angka yang cukup besar untuk PLTS terapung, tapi tak mengherankan mengingat potensi Indonesia yang mencapai 1.900 MW.
Namun sejumlah kalangan pelaku industri menilai angka-angka tersebut sangat ambisius karena terlalu banyak tantangan dan kendala dalam pemanfaatan energi tersebut. Di antaranya nilai keekonomian proyek. Investasi proyek PLTS dikenal sangat mahal lantaran komponen-komponen yang dibutuhkan kebanyakan merupakan barang impor. Hal tersebut tidak selaras dengan harga jual listrik di Tanah Air yang murah, sehingga pengembalian investasi (return of investment) menjadi relatif lama.
Baca juga: Membangun Masa Depan dengan Memanfaatkan Listrik dari Energi Surya
Sementara, tingkat bunga pinjaman (interest rate) untuk industri EBT tergolong tinggi, dibarengi pula dengan masalah pajak yang dinilai tidak bersahabat di mata investor. Pemerintah menerapkan pajak penghasilan sebesar 2,5 persen bagi penanam modal di Indonesia. Kendala yang bertubi-tubi ini menyebabkan investor lebih memilih untuk mengembangkan bisnis lain yang pada ujungnya target reformasi di bidang energi Indonesia menjadi jalan di tempat.
Kembali ke Biden. Keberanian Presiden AS ke-46 tersebut dalam memastikan pengembangan EBT di negaranya tidak mandek harus dicontoh pemerintah. Pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk secara pelan-pelan mengurangi hambatan dan tantangan pengelolaan EBT di Indonesia. Memang dibutuhkan keberanian dan pengorbanan untuk itu.
Mengapa pengorbanan? Karena mengurai masalah-masalah yang disebutkan di atas itu secara tidak langsung akan mengurangi pendapatan pemerintah, misalnya dengan memberikan insentif pajak kepada investor. Namun yakinlah bahwa pengorbanan yang mungkin pahit di depan, bisa jadi akan menjadi manis di masa mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.