Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Peta Jalan Inovasi Ekonomi Nasional

Kompas.com - 22/06/2022, 12:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISTILAH inovasi pada mulanya milik dunia bisnis. Inovasi adalah penampakan dari apa yang disebut oleh Joseph Schumpeter sebagai proses "creative destruction" alias penghancuran kreatif yang menjadi kunci adaptasi kapitalisme dalam sistem ekonomi pasar bebas.

Dengan berinovasi, para usahawan bisa menghadirkan produk-produk baru untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat di satu sisi dan juga bisa memperbaiki tingkat efisiensi dan produktifitas di sisi lain.

Yang tidak mampu beradaptasi atau menolak berinovasi akan digoncang oleh disrupsi teknologi karena dianggap melawan takdir kapitalisme.

Bahkan, kata Schumpeter, proses "creative destruction" adalah napas dari keberlanjutan kapitalisme. Jadi memang pada awalnya inovasi adalah milik pelaku bisnis alias para kapitalis.

Management guru, Peter Drucker, dalam bukunya "Innovation and Enterpreneur" menyebut bahwa inovasi adalah perkara bagaimana para pemilik modal dan enterpreneur memanfaatkan peluang dan mengubah tantangan menjadi kesempatan.

Hari ini, konsep besar inovasi ikut berkembang sesuai tuntutan zaman. Adam Seagal dalam buku "Advantage" meredefenisi kata inovasi menjadi "science based research" dengan mengacu pada pengalaman para inovator dan enterpreneur Amerika, mulai dari Thomas Alfa Edison, Tesla, Graham Bell, sampai Wirght bersaudara, di mana semuanya melakukan riset ilmiah dalam mengembangkan produknya.

Karena itu saat ini ramai-ramai pakar mengaitkan inovasi dengan dana riset.

Tapi Daniel Breznitz dari Georgia Tech melonggarkan maknanya, karena melihat pesatnya perkembangan teknologi di China.

Terkadang, katanya, inovasi tidak melulu lahir dari riset ilmiah kampus untuk produk baru, tapi juga karena adopsi inovasi yang sudah ada dan adaptasi proses yang lebih efisien untuk produktifitas yang lebih tinggi.

Misalnya, adopsi model produksi massif ala Hendri Ford yang berhasil mendisrupsi industri otomotif Amerika seabad lalu dengan menginisiasi proses manufaktur perakitan mobil Ford (diawali dengan pengenalan model T) untuk kuantitas yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah.

Kini kita dapat dua bagian penting inovasi. Pertama adalah produk, kedua adalah proses. Keduanya untuk produk baru, untuk efisiensi, dan untuk produktifitas yang lebih tinggi.

Lepas dari itu, kini kita juga dapat dua institusi yang menjadi tonggak inovasi, yakni enterpreneur (dunia usaha) dan kampus (science community).

Tapi di Indonesia keduanya cenderung berjalan sendiri-sendiri.

Michael Auslin dalam buku barunya, "The End of Asian Century” menyebut dunia kampus di Indonesia bernasib sama dengan negara Asia lainya, kurang pembiayaan, terutama untuk penelitian.

Lebih miris lagi, belakangan para ilmuwan kampus juga terbawa-bawa pembelahan politik layaknya politisi.

Mereka sibuk mendukung para politisi pilihan mereka dengan senjata ilmiah yang mereka punya. Termasuk berlomba-lomba untuk duduk di bangku komisaris dan direksi BUMN

Untuk itu, kita perlu pihak ketiga yang akan mengawinkan kedua institusi tersebut sekaligus mendukung pembiayaan dan menguatkan institusi ekonominya, yakni pemerintah.

Riset perlu diinisiasi untuk kreasi atau adopsi teknologi dan proses untuk meningkatkan produktifitas perekonomian nasional.

Misalnya, riset untuk produk turunan dari CPO yang berlimpah yang digadang-gadang oleh Jokowi tak akan diekspor lagi secara mentah-mentah.

Ada banyak produk turunan CPO yang bisa diupayakan, agar tidak diekspor mentah-mentah. Bisa diolah menjadi cokelat, selai cokelat, lipstik, margarin, selai mentega, sabun, minyak kelapa sawit, kue kering, mi instan, sampo, biodiesel, dan lainya.

Atau riset untuk hasil lanjutan peternakan sapi, kerbau, ikan tilapia, ikan laut, dan lainya.

Misalnya bagaimana daging sapi bisa meniru daging wagyu di Jepang, dikemas dalam bentuk frozen meat untuk pasar lokal, nasional, plus pasar ekspor. Atau pengembangan masif frozen filet ikan nila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com