PASCAPENCABUTAN kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO dan turunannya) masih menyisakan masalah serius bagi Industri sawit dari hulu ke hilir, dengan jebloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan kisruh masalah minyak goreng di dalam negeri.
Sebelumnya pemerintah memberlakukan larangan ekspor CPO dan turunannya sejak 28 April 2022 hingga 22 Mei 2022, demi menurunkan harga minyak goreng yang melonjak di pasaran.
Kebijakan tersebut ternyata dianggap lebih banyak membawa dampak negatif, ketimbang menjadi strategi pengendali harga minyak goreng.
Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah di sektor hulu, di mana harga TBS di tingkat petani kelapa sawit anjlok.
Berdasarkan data, akibat larangan ekspor ini, stok CPO Indonesia melimpah. Di bulan April 2022 saja mencapai 6,103 juta ton. Padahal total konsumsi lokal hanya 1,752 juta ton.
Maka tidak heran jika banyak PKS (pabrik kelapa sawit) yang sudah tutup, tidak bisa lagi produksi CPO, karena tidak tertampung.
Berdasarkan data Gapkindo, dari 1.118 unit pabrik sawit, diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup.
Bisa dikatakan bahwa kebijakan larangan ekspor tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi, bukan hanya terkait bahan baku.
Bahkan, pascadibuka kembalinya ekspor sawit, sejak bulan Mei lalu, hingga kini harga tandan buah segar sawit makin hari justru makin anjlok.
Dari data posko pengaduan harga TBS APKASINDO di 22 provinsi, diketahui harga TBS swadaya mencapai Rp 1.116/kg dan petani bermitra sudah pecah Rp 2.000/kg menjadi Rp 1.700/kg.
Kondisi makin anjloknya harga TBS saat ini perlu diatasi dengan segera, karena menyangkut nasib 2,5 juta kepala keluarga petani sawit, yang akan jatuh miskin, menganggur, dan menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Ada beberapa langkah komprehensif yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalah industri kelapa sawit.
Pertama, berperan sebagai penjaga persediaan. Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas harga sawit dengan menjaga persediaan.
Ketika harga sawit turun pemerintah harus menyiapkan semacam badan usaha yang memiliki kewenangan seperti halnya Bulog (Badan Urusan Logistik) dalam menstabilkan harga beras di pasaran.
Bulog berperan sebagai pembeli ketika petani panen dan harga turun. Sebaliknya, ketika harga beras naik, maka Bulog mengeluarkan stok beras ke pasar.