Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IDEAS: Banjir Impor Pangan Adalah Ironi Besar Bagi Negeri Agraris Seperti Indonesia

Kompas.com - 19/07/2022, 21:05 WIB
Ade Miranti Karunia,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyoroti besarnya risiko yang akan dihadapi pemerintah karena ketergantungannya kepada pasar pangan global. Misalnya, ketika sumber impor pangan strategis hanya bergantung pada segelintir negara saja.

Dengan kata lain, ketahanan pangan nasional bersandar pada pijakan rapuh politik pangan beberapa negara.

Hingga kini impor pangan masih membanjiri Tanah Air, bahkan semakin deras. Total impor untuk 9 komoditas pangan utama pada 2021, mencapai 24,5 juta ton atau senilai 10,4 miliar dollar AS. Angka ini meningkat dari kondisi 2014, dimana impor untuk 9 komoditas pangan utama saat itu 19,7 juta ton, atau sebesar 8,5 miliar dollar AS.

Baca juga: Daripada Impor Daging dari India, Peternak Minta Bulog Serap Sapi dan Kerbau Mereka yang Bebas PMK

"Banjir impor pangan adalah ironi besar bagi negeri agraris seperti Indonesia. Dengan bentang alam yang sangat luas hingga 191 juta hektar, tanah yang subur, iklim yang relatif terduga dengan sinar matahari yang berlimpah dan curah hujan yang tinggi, seharusnya kedaulatan dan kemandirian pangan bukanlah mimpi bagi ini," kata Direktur IDEAS Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/7/2022).

Sebagai contoh, sambung Yusuf, pada 2021, dari 2,5 juta ton kedelai impor pangan 87 persennya hanya berasal dari Amerika Serikat. Padahal lebih dari 91 persen kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi oleh impor. Tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persennya berasal dari tiga negara saja.

Yusuf menambahkan, masih pada tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persennya berasal dari tiga negara saja yaitu Australia, Ukraina dan Kanada. Padahal kebutuhan gandum nasional sepenuhnya bergantung pada impor karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali.

"Kasus lebih ekstrim terjadi pada bawang putih, dimana lebih dari 93 persen kebutuhan nasional harus dipenuhi oleh impor namun seluruh impor hanya bersumber dari satu negara, yaitu Tiongkok," ungkapnya.

Baca juga: Luhut: Jangan Kita Impor Barang atau Makanan yang Bisa Diproduksi Dalam Negeri...

Selain sumbernya yang bergantung kepada bebeapa negara saja, lanjut Yusuf, risiko besar juga datang dari fluktuasi harga dan ketersediaan pasokannya. Hal tersebut diperparah oleh politik proteksionisme pangan yang diterapkan puluhan negara sebagai respon dari krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dan konfilk Rusia-Ukraina.

"Demi mengamankan pasokan pangan domestik, puluhan negara telah melakukan kebijakan ekstrim dengan melarang ekspor pangan. Bila diawal tahun hanya 3 negara yang melakukan politik proteksionisme pangan, jumlah itu kini melonjak mencapai 24 negara," ujarnya.

Politik proteksionisme pangan internasional ini tidak hanya mengambil bentuk pelarangan ekspor pangan saja namun juga pengetatan perizinan ekspor pangan dan pajak atas ekspor pangan sehinga harga pangan di pasar global pun kian melonjak.

Yusuf menyebutkan, sejumlah komoditas pangan strategis mengalami kenaikan harga yang drastis dalam 6 bulan terakhir. Jagung dan kedelai mengalami kenaikan harga hingga 30 persen.

Dari kisaran 265 dollar AS dan 554 dollar AS per ton pada Desember 2021, menjadi kisaran 345 dollar AS dan 724 dollar AS per ton pada Mei 2022. Gandum bahkan mengalami kenaikan harga hingga kisaran 40 persen.

"Dihadapkan pada lonjakan harga pangan global dan politik proteksionisme pangan internasional, Pada 2021, Indonesia masih mengimpor sejumlah komoditas pangan strategis dalam jumlah signifikan bernilai puluhan miliar dollar AS antara lain beras 400.000 ton, garam 2,8 juta ton, gula 5,5 juta ton, kedelai 2,5 juta ton, gandum 11,2 juta ton dan daging sapi 273.000 ton," paparnya.

Baca juga: Temui Mentan SYL, Zulkifli Hasan: Jangan Sampai Petani Mati karena Impor yang Lebih

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com